Egrang, Permainan Tradisional yang Murah Namun Terlupakan
Perjalanan saya kali ini ke Kabupaten Purwakarta, yang terletak lebih kurang 80 kilometer dari Jakarta. Saat saya ke daerah sunda itu, Purwakarta sedang merayakan hari jadinya yang ke 44. Banyak kegiatan diselenggarakan, diantaranya festival Egrang. Siapa yang tak tahu Egrang. Egrang sendiri adalah permainan dengan galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah.
Egrang dilengkapi dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal. Di dataran banjir maupun pantai atau tanah labil, bangunan sering dibuat di atas jangkungan untuk melindungi agar tidak rusak oleh air, gelombang, atau tanah yang bergeser. Jangkungan telah dibuat selama ratusan tahun.
Festival Egrang ini mungkin menjadi salah satu peristiwa tak terlupakan oleh masyarakat Purwakarta. Sebanyak 15 ribu warga Purwakarta mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berpartisipasi dalam permainan ini yang juga dikenal dengan nama jajangkungan ini.
Menurut ketua pelaksana kegiatan, Dedi Effendi, peserta berasal dari sekolah – sekolah yang ada di Purwakarta, staf aparatur desa di 183 desa dan kelurahan, pegawai kecamatan di 17 kecamatan, pegawai UPTD Pendidikan 17 kecamatan, pegawai pemkab dan partisipasi masyarakat.
Festival egrang ini tercatat memecahkan rekor MURI untuk memainkan egrang terbanyak di Indonesia. Tingkat animo masyarakat yang tinggi terhadap festival egrang ini berhasil mengantarkan Purwakarta mematahkan rekor yang pernah dibuat oleh Kota Majene Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2010 yang juga menyelenggarakan kegiatan egrang dengan 4.320 peserta.
Lautan peserta egrang tepat di pertigaan Patung Arjuna Pasar Jumat. Peserta sambil menggunakan egrang berkonvoi menuju garis finish di depan gedung kembar Nakula Sadewa. Kurang lebih jarak 500 meter sejak garis mulai hingga selesai dilalui peserta egrang.
Selain peserta egrang, festival diramaikan oleh arak-arakan kesenian dari berbagai desa dan sekolah yang kesemuanya merupakan anak- anak usia sekolah dasar, seperti Sisingaan. Bahkan ada beberapa peserta nampak menggunakan egrang dengan ukuran yang relatif tinggi hingga mencapai 5 meter .
Festival ini sebenarnya dimaksudkan untuk melestarikan permainan tradisional yang mulai terlupakan. Menurut Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, peringatan hari jadi Purwakarta selalu ada sentuhan baru setiap tahunnya. Dedi berharap, egrang menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Selama ini, permainan tradisional anak-anak sudah banyak terkikis oleh permainan modern.
“Mengapa egrang terlupakan? Itu karena egrang tidak dijadikan tren dan mode. Sekarang saya coba jadi tren anak muda di Purwakarta, terutama untuk anak-anak sekolah,”kata Kang Dedi yang kala itu berpakaian serba putih.
Menurutnya, dengan adanya festival tersebut, anak-anak justru antusias dan menyukainya. Egrang dapat meningkatkkan kreativitas berpikir anak dan memupuk solidaritas. Egrang melibatkan sejumlah anak-anak sehingga akan terlihat kekompakannya. Egrang juga permainan yang murah meriah karena hanya bermodalkan bambu. Berbeda dengan permainan modern yang menuntut untuk hidup dengan gaya.
Selain itu, ada filosofi yang melatarbelakangi mengapa egrang dipilih sebagai penyemarak ultah Purwakarta. Egrang menggambarkan filosofi bambu yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sunda khususnya Jawa Barat. Di dalam permainan egrang, ada keterlatihan kaki-kaki yang kuat yang maknanya orang dapat berjalan dengan kokoh. Sementara itu, ketika memainkan egrang, orang harus selalu melihat ke bawah. Ini bermakna , jika seseorang menjadi pemimpin, harus melihat ke bawah sehingga tidak menjadi pemimpin yang jumawa.
“Saya latihan dua minggu untuk untuk bisa naik egrang. Saya senang sekalian liburan sekolah,” ungkap Arif (10) siswa SD N 2 Maracang Purwakarta yang berpakaian serba hitam khas pencak silat. “Sempat jatuh sih tapi akhirnya bisa dan senang bisa ikut,” imbuh Arif. Arif adalah satu diantara 15 Ribu orang yang mengikuti permainan egrang sepanjang tiga kilometer itu.
Antusiasme warga Purwakarta yang menyaksikan festival egrang pun sangat besar. Puluhan ribu warga berkumpul di sepanjang Jalan Singawita. Bahkan, masyarakat sudah mulai berdatangan sejak pukul empat sore. Padahal, acara berlangsung setelah Isya. “Saya dari jam empat sudah disini, ingin lihat egrang,” papar Siti (62) warga Bojong, Nagri Kidul Purwakarta.
Selain festival egrang, perayaan hari jadi Purwakarta ini juga dimeriahkan dengan banyaknya jajanan kuliner khas Purwakarta. Bagi para pecinta sate maranggi, mungkin akan menjadi peristiwa langka yang sulit ditemukan di daerah lain. Sekitar 60 tukang sate berjajar di seputaran wilayah Situ Buleud. Ahmad (40), sibuk menyalakan bara api di depannya. Dengan berpakaian khas hitam dan memakai pangsi, ikat kepala khas Sunda, warga Cikodang, Mekarsari, Darangdang, Purwakarta ini terlihat cekatan mengatur nyala api dan membakar puluhan tusuk sate.
Asap mengepul dari puluhan tungku tukang sate Maranggi ini mengundang warga sekitar untuk mencicipinya. “Ini sate khas Purwakarta, cukup daging mentah kemudian dibakar, bumbunya cukup sambal kecap dan acar,” terang Ahmad yang sudah berjualan sate maranggi selama sembilan tahun ini.
Sate Maranggi khas Ahmad sendiri cukup khas karena tidak memakai lontong atau nasi sebagai makanan pokok, tetapi memakai ketan bakar. Ahmad dan puluhan penjual sate maranggi lainnya adalah pengisi acara semarak ulang tahun HUT Purwakarta ke 181 dan HUT Kabupaten Purwakarta ke-44. “Saya senang ada acara seperti ini, ramai,” papar Ahmad berseri. Tidak hanya Ahmad, puluhan penjual sate Maranggi lainnya sibuk melayani pembeli dengan jalan yang sudh dihiasi obor dari Pemda.
Selain festival egrang dan sate maranggi, warga juga dihibur dengan beragam kesenian khas sunda lainnya. Panggung hiburan untuk musik sunda dan modern juga disiapkan di alun-alun Purwakarta. Kesenian Lisung misalnya, mengiringi malam puncak festival egrang. Dahulu, kesenian Lisung dipakai jika akan ada perayaan pernikahan. Satu hari sebelumnya, bunyi-bunyian gondang tutunggulan dimainkan satu hari sebelum pernikahan.
Egrang dilengkapi dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal. Di dataran banjir maupun pantai atau tanah labil, bangunan sering dibuat di atas jangkungan untuk melindungi agar tidak rusak oleh air, gelombang, atau tanah yang bergeser. Jangkungan telah dibuat selama ratusan tahun.
Festival Egrang ini mungkin menjadi salah satu peristiwa tak terlupakan oleh masyarakat Purwakarta. Sebanyak 15 ribu warga Purwakarta mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berpartisipasi dalam permainan ini yang juga dikenal dengan nama jajangkungan ini.
Menurut ketua pelaksana kegiatan, Dedi Effendi, peserta berasal dari sekolah – sekolah yang ada di Purwakarta, staf aparatur desa di 183 desa dan kelurahan, pegawai kecamatan di 17 kecamatan, pegawai UPTD Pendidikan 17 kecamatan, pegawai pemkab dan partisipasi masyarakat.
Festival egrang ini tercatat memecahkan rekor MURI untuk memainkan egrang terbanyak di Indonesia. Tingkat animo masyarakat yang tinggi terhadap festival egrang ini berhasil mengantarkan Purwakarta mematahkan rekor yang pernah dibuat oleh Kota Majene Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2010 yang juga menyelenggarakan kegiatan egrang dengan 4.320 peserta.
Lautan peserta egrang tepat di pertigaan Patung Arjuna Pasar Jumat. Peserta sambil menggunakan egrang berkonvoi menuju garis finish di depan gedung kembar Nakula Sadewa. Kurang lebih jarak 500 meter sejak garis mulai hingga selesai dilalui peserta egrang.
Selain peserta egrang, festival diramaikan oleh arak-arakan kesenian dari berbagai desa dan sekolah yang kesemuanya merupakan anak- anak usia sekolah dasar, seperti Sisingaan. Bahkan ada beberapa peserta nampak menggunakan egrang dengan ukuran yang relatif tinggi hingga mencapai 5 meter .
Festival ini sebenarnya dimaksudkan untuk melestarikan permainan tradisional yang mulai terlupakan. Menurut Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, peringatan hari jadi Purwakarta selalu ada sentuhan baru setiap tahunnya. Dedi berharap, egrang menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Selama ini, permainan tradisional anak-anak sudah banyak terkikis oleh permainan modern.
“Mengapa egrang terlupakan? Itu karena egrang tidak dijadikan tren dan mode. Sekarang saya coba jadi tren anak muda di Purwakarta, terutama untuk anak-anak sekolah,”kata Kang Dedi yang kala itu berpakaian serba putih.
Menurutnya, dengan adanya festival tersebut, anak-anak justru antusias dan menyukainya. Egrang dapat meningkatkkan kreativitas berpikir anak dan memupuk solidaritas. Egrang melibatkan sejumlah anak-anak sehingga akan terlihat kekompakannya. Egrang juga permainan yang murah meriah karena hanya bermodalkan bambu. Berbeda dengan permainan modern yang menuntut untuk hidup dengan gaya.
Selain itu, ada filosofi yang melatarbelakangi mengapa egrang dipilih sebagai penyemarak ultah Purwakarta. Egrang menggambarkan filosofi bambu yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sunda khususnya Jawa Barat. Di dalam permainan egrang, ada keterlatihan kaki-kaki yang kuat yang maknanya orang dapat berjalan dengan kokoh. Sementara itu, ketika memainkan egrang, orang harus selalu melihat ke bawah. Ini bermakna , jika seseorang menjadi pemimpin, harus melihat ke bawah sehingga tidak menjadi pemimpin yang jumawa.
“Saya latihan dua minggu untuk untuk bisa naik egrang. Saya senang sekalian liburan sekolah,” ungkap Arif (10) siswa SD N 2 Maracang Purwakarta yang berpakaian serba hitam khas pencak silat. “Sempat jatuh sih tapi akhirnya bisa dan senang bisa ikut,” imbuh Arif. Arif adalah satu diantara 15 Ribu orang yang mengikuti permainan egrang sepanjang tiga kilometer itu.
Antusiasme warga Purwakarta yang menyaksikan festival egrang pun sangat besar. Puluhan ribu warga berkumpul di sepanjang Jalan Singawita. Bahkan, masyarakat sudah mulai berdatangan sejak pukul empat sore. Padahal, acara berlangsung setelah Isya. “Saya dari jam empat sudah disini, ingin lihat egrang,” papar Siti (62) warga Bojong, Nagri Kidul Purwakarta.
Selain festival egrang, perayaan hari jadi Purwakarta ini juga dimeriahkan dengan banyaknya jajanan kuliner khas Purwakarta. Bagi para pecinta sate maranggi, mungkin akan menjadi peristiwa langka yang sulit ditemukan di daerah lain. Sekitar 60 tukang sate berjajar di seputaran wilayah Situ Buleud. Ahmad (40), sibuk menyalakan bara api di depannya. Dengan berpakaian khas hitam dan memakai pangsi, ikat kepala khas Sunda, warga Cikodang, Mekarsari, Darangdang, Purwakarta ini terlihat cekatan mengatur nyala api dan membakar puluhan tusuk sate.
Asap mengepul dari puluhan tungku tukang sate Maranggi ini mengundang warga sekitar untuk mencicipinya. “Ini sate khas Purwakarta, cukup daging mentah kemudian dibakar, bumbunya cukup sambal kecap dan acar,” terang Ahmad yang sudah berjualan sate maranggi selama sembilan tahun ini.
Sate Maranggi khas Ahmad sendiri cukup khas karena tidak memakai lontong atau nasi sebagai makanan pokok, tetapi memakai ketan bakar. Ahmad dan puluhan penjual sate maranggi lainnya adalah pengisi acara semarak ulang tahun HUT Purwakarta ke 181 dan HUT Kabupaten Purwakarta ke-44. “Saya senang ada acara seperti ini, ramai,” papar Ahmad berseri. Tidak hanya Ahmad, puluhan penjual sate Maranggi lainnya sibuk melayani pembeli dengan jalan yang sudh dihiasi obor dari Pemda.
Selain festival egrang dan sate maranggi, warga juga dihibur dengan beragam kesenian khas sunda lainnya. Panggung hiburan untuk musik sunda dan modern juga disiapkan di alun-alun Purwakarta. Kesenian Lisung misalnya, mengiringi malam puncak festival egrang. Dahulu, kesenian Lisung dipakai jika akan ada perayaan pernikahan. Satu hari sebelumnya, bunyi-bunyian gondang tutunggulan dimainkan satu hari sebelum pernikahan.
0 Response to "Egrang, Permainan Tradisional yang Murah Namun Terlupakan"
Post a Comment
Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)