Dunia Lingga

#CeritaAa: I'm Your Biggest Fan


Assalamualaikum,
Apa kabar sahabat dunialingga? Insya Allah baik ya. Mau sedikit cerita, tepat tanggal 30 November silam adalah ulang tahun pernikahan saya dan suami. Masuk usia tiga tahun, tak ada perayaan khusus momen ini. 

Tak ada kue, tak ada lilin. Mungkin sudah jadi kebiasaan dari orang tua kami masing-masing yang tak pernah secara khusus merayakan sebuah hari. Apalagi sebuket bunga mawar merah satu tanda cintaa..*malahnyanyi wooy. 

Di hari jadi pernikahan, biasanya kita hanya makan bareng ke tempat makan yang belum pernah disinggahi. Mana nasi kebuli Abu Salimnya niiihhh Aa??  Karena keuangan sedang seret, ya makan di tempat makan junk food dah, hahaa..

Untuk hari jadi ini, saya hanya meminta kado darinya sebuah tulisan. Rasanya setiap ulang tahun pernikahan, kami selalu bertukar tulisan. Tentang unek-unek selama menjalani pernikahan. Contohnya tulisan ini  Cinta Rahwana dan ini Surat Cinta Untuk Lelakiku

Nah, tiba-tiba di pagi hari sudah nangkring tulisannya doi di blog, lets check it out. *kali ada yang mau baca. Haha..

Aa

Saya orangnya pendiam, amat pendiam. Tapi saya bekas penyiar radio. Percaya? lebih baik percaya saja. Saya orangnya pendiam, teramat pendiam. Lebih kurang 40 grup whatsapp, 90 persen diantaranya saya hanya silent reader. Tak banyak berkomentar lewat ketikan huruf. Tapi saya wartawan media cetak (alias harus menulis). Percaya? lebih baik percaya saja.

Saya bisa menjadi orang yang amat cerewet kala di depan mic. Saya juga bisa menulis hingga 10 ribu karakter kalau jam deadline kantor. Saya bisa menjadi orang yang berbeda kalau dibayar. Sudah, percaya saja.

Saya yang amat pendiam ini lantas harus memasuki rumah tangga. Bercampur dengan wanita yang harus saya tatap 24 jam, 7 hari sepekan. Sayangnya istri saya itu manusia. Mau tidak mau harus saya ajak ngobrol. Padahal, saya pendiam kalau tidak dibayar. Menjadi suami, setahu saya tidak dibayar. Harus membayar malah. Saya yang pendiam ini, harus 'dipaksa' mengobrol, dengan si dia.

Untungnya wanita yang saya nikahi tak pendiam malu malu kucing. Komunikatif cenderung atraktif. Saya menikmatinya. Maksud saya menikmati keatraktifan berbicaranya. Saya merasa terbantu. Untuk ngobrol tentu saja. Mengobrol seharusnya menjadi bagian penting dalam hubungan lelaki dan perempuan. Yang saya baca di internet begitu.

Katanya, ketertarikan fisik bisa pudar seiring menjamurnya komedo dan anti agging yang tidak bekerja. Ketertarikan harta bisa sirna seiring kredit macet usaha dan peristiwa mendadak yang menguras pundi-pundi. Harus ada yang merawat ikatan itu agar tetap tersimpul kuat. Katanya lagi, salah satu yang cukup kuat mengikatnya adalah mengobrol.

Mau ngomong kalo dibayar

Celakanya harus saya akui lagi-lagi saya tak pandai benar mengobrol. Selain nyaman diam, saya amat sulit membuka percakapan dengan seseorang. Mengobrol lama-lama. Menemukan topik-topik. Mengulanginya lagi pembahasan yang lalu. Terus begitu sampai kiamat. Saya tak pandai. Singkat kata saya tak memiliki keterampilan mengobrol.

Soal mengobrol ini menjadi pikiran saya sepanjang pulang kerja. Tepatnya jelang tiga tahun kami menikah beberapa hari lalu. Tiga tahun menikah dan menjadi bapak dari anak lelaki dua tahunan, saya mikir. Apa iya saya sudah cukup banyak mengobrol dengan wanita saya? Sampai saya menulis ini pun saya masih merasa kurang ngobrol. Entah dengan perasaan si dia.

Ingatan saya terjengkang beberapa tahun lalu di Gejayan, Yogyakarta. Saat itu saya mahasiswa yang kerap diminta menjadi pembaca acara. Lucu katanya. Saya akui salah satu kenikmatan saat di atas panggung membawakan acara adalah membuat orang lain tertawa. Itu prestasi tak terkira. Melebihi Ariska Putri Pertiwi yang jadi Miss Grand Internasional pertama buat Negara Kesatuan Republik Indonesia lah.

Seorang kawan lantas berkata, "Yang jadi istri ente kelak beruntung ye, bakal ketawa terus." Saya hanya membatin, "Apa iya?"
Kini pertanyaan itu menemukan muaranya. Apa iya saat mengobrol, si dia lebih banyak tertawa? Atau lebih banyak cemberut karena salah kata-kata? Mau tahu jawabannya? Tanya aja ndiri orangnya.

Yang saya rasa, tiga tahun ini tak banyak obrolan-obrolan berkualitas yang hadir. Masih terlampau sedikit kata-kata yang tertumpah untuk sekadar mengguratkan senyum si dia. Saya (Kami) belum cukup banyak mengobrol. Kata-kata saya mungkin lebih banyak untuk orang lain. Ada paradoks memang. Semoga setelah tiga tahun ini akan muncul berbagai obrolan yang menguatkan simpul itu.


Writing relationship


Saya juga mulai berpikir, jika kami kurang ngobrol dalam artian saling berbicara, kami nampaknya harus memulai ngobrol dengan cara lain: menulis. Entahlah, menulis membuat dia nyaman. Saya merasakan aura kecantikannya keluar saat saya membaca tulisannya. Ia hidup, dan lebih hidup dalam tulisan.

Sejak punya anak kami sepakat si dia yang harus 24 jam menemani Arfa, anak kami. Satu kami tak begitu percaya dengan baby sitter di Jabodetabek, dua kami tinggal jauh dengan kedua orang tua, tiga kami tak kuat bayar baby sitter. Ia harus rela meninggalkan pekerjaan bergaji beralih dengan pekerjaan berpahala: menjadi ibu.

Awalnya guna mengisi waktu ia berbisnis daring. Semacam produk bayi dan sekitarnya. Lalu bosan, meredup, wassalam. Lantas beberapa portal berita menggunakan jasanya. Lalu portal beritanya yang meredup dan wassalam. Kini ia menemukan dunia lamanya yang kembali hidup: ngeblog.

Ia bersemangat sekali menulis. Dan saya adalah penggemar terbesar tulisan-tulisannya. Sejak memenangi salah satu kontes blog, saya menghadiahkan domain .com di hari ulang tahunnya. Semangatnya makin menjadi-jadi. Berbagai lomba ia ikuti. Bukan main semangatnya. Hasilnya sejauh ini memuaskan. Kalau dihitung dengan uang mungkin sudah puluhan juta dikantongi.


Ia merajuk melihat blog seseorang. Blog yang diisi tulisan pasangan suami-istri. Apakah wanita selalu begitu kalau melihat punya wanita lain yang dirasa lebih bagus? mungkin. Ia ingin ada tulisan saya sebagai guest writer di blognya. Menulis berdua. Saya masih tak cukup antusias. Jujur, menulis bukan hobi saya. Menulis adalah pekerjaan saya. Mood menulis saya masih minnanuur ila dzulumat. Belum sebaliknya.

Namun, saya lantas mikir. Bisa jadi dengan menulis (berdua), bisa sedikit banyak membayar obrolan saya yang sedikit tadi. Bisa jadi menulis bagi kami adalah merekatkan hubungan. Bisa jadi menulis bagi rumah tangga kami adalah pengganti bunga mawar yang dibawa suami-suami romantis.

Bisa jadi. Ini masih pemikiran lintas lalu. Contohnya ya tulisan ini. Seharusnya meluncur pukul 00.00 30 November kemarin saat tahun ketiga pernikahan kami. Karena bukan hobi tadi, baru meluncur 24 jam kemudian. Inti tulisan ini sih, selamat ulang tahun pernikahan ketiga ya Lingga Permesti.

Neng
Iyaaakk..kaget lihat ada postingan ini, meski agak jaga imej biar gak terlalu lebay. Kayak waktu dulu sampe nangis karena dia ngegombal di tulisan. Sekarang dia nanya, "Neng gak nangis?" Haha..jadi dia nunggu saya nangis dan terharu? Ah, tidak, saya kan gak baperan anaknya.*yakalikalodicuekindikitmrebesmili

Bener banget sih, agaknya sekarang kita jarang ngobrol. Sekalinya ngobrol berdebat tentang perut yang sama-sama melebar. Ayo, siapa yang lebih lebarr??Dua-duanya nggak mau mengakui. 

Suami memang pendiam. Harus ditanya dulu baru jawab. Kalau saya nonton tv ada pelawak yang lucu, ketawa saya nggak bisa ditahan. Mungkin bisa terdengar tetangga sebelah. Kalau Aa, ketawa cuma dalam hati kayaknya, saking nggak ekspresifnya nih laki, haha..

Tapi, terkadang diam-diam dia melucu dan bikin saya cekikikan. Kayak misalnya dia tiba-tiba nyanyi jingle iklan, Gesit gesiit seperti baruuu.." Walaaahh, saya nahan ketawa itu, biasa jaim. 

Resolusi kali ini dalam rumah tangga kami: AYO BANYAK NGOBROOOL DAN NGEGOMBAL..Huauahaa..

Subscribe to receive free email updates:

7 Responses to "#CeritaAa: I'm Your Biggest Fan "

  1. Aih suka suka suka dengan tulisannya. :)

    Selamat hari pernikahan ya mbak, mas. Semoga langgeng selalu.

    ReplyDelete
  2. Selamat ultah pernikahan mbak..mudah mudahan jadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.aamiin

    ReplyDelete
  3. Seru ya nulis berdua di satu blog. Biar imbang

    ReplyDelete
  4. Wow 40 grup WA. Glek. Hehe. Aku baru hitungan jari grupnya mb. Kadang pun suka aku silent kalau terlalu ramai. Semoga langgeng selalu sama suaminya, jadi sahabat dunia akhirat ya, mba Lingga.

    ReplyDelete
  5. Ciyeeee...
    So Sweet deh, Mbak.

    Aku tuh ya seneng banget ngebacain artikel yang begini (Istri menceritakan suami dan sebaliknya). Makanya saya suka betah nongkrong di blog yang ada tema pillow talk nya hihihii.

    Anyway, happy anniversary, Mbak!
    Long last!

    ReplyDelete
  6. Suamiku juga pendiam, pernah coba jg ajak ngeblog, tp sepertinya itu bukan dunianya. Skrg malah aku menemukan cara lain untuk ngobrol, yaitu dengan ikut nyebur ke hobinya, main rubik :D dg begitu aku bisa ngobrol sambil minta ajarin rumus rubik. Wkwk

    ReplyDelete
  7. Lucu banget sih kalian ini. Konon katanya orang pendiam itu lucu banget sekalinya ngomong. Ga percaya? Udah percaya saja.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)