Dunia Lingga

Surat Cinta untuk Istriku: Wanitaku

Postingan surat cinta untuk lelakiku sebenarnya berawal dari keisengan pribadi ngerjain suami. Ya selain karena memang ingin digombalin suami.

Balasannya, si suami nulis surat yang juga agak agak beda dari kebiasaannya dia yang jarang gombal gambel.

Wanitaku
Bukannya aku melebih-lebihkan, tapi langit di sela-sela jendela lantai 4 jelas bersemburat merah. Indah bukan main. Aku juga tak akan mengucapkan gombalan seumpama, "Akan lebih indah menatap langit sore bersamamu." Tidak, aku tidak akan merayumu dengan itu. Tapi sejurus sudah aku lakukan kan?

Wanitaku, aku ingin bercerita. Aku dulu mengagumi sore. Sore di Masjid Kampus Yogyakarta sana indah sekali. Ada air mancur membasahi lafaz Allah. Ada puluhan pohon palem semampai. Terlebih engkau duduk di tangganya yang dari granit di bawah lengkungan gerbang yang menjulang. Indah sekali sore saat itu. Aku sering duduk sendirian di sana wanitaku. Seperti biasa, berkhayal. Satu dua aku ditemani sesengukan. Biasa aku kan pria sentimentil (jangan kau ledek yang ini).

Wanitaku, sore bagiku jauh lebih indah dari pagi. Bersediakah engkau mendengarkan penjelasanku? Sore itu tergelincirnya cahaya. Orang-orang tidak suka jika cahaya meredup. Mereka tak suka kegelapan. Tatanan peradaban tidak pernah menyukai masa-masa sore. Jika sore mereka tahu sebentar lagi mereka akan berjumpa kelam, kehancuran.

Tapi bagiku, sore justru indah. Jika waktu memasuki sore artinya tatanan akan jatuh, rusak. Semakin malam semakin pekat. Itu justru baik wanitaku. Karena jika kita sedang di kegelapan malam, kita bisa memastikan sebentar lagi semburat cahaya akan datang. Cahaya kebangkitan. Aku ingin tentu saja bersamamu (ini bukan rayuan) menjadi bagian orang-orang yang melalui malam kemudian menjemput cahaya. Begitu tafsir Noe bin Emha Ainun Nadjib.

Ah panjang sekali hanya membuat mukadimah. Wanitaku, sore yang aku sebut indah tadi tiba-tiba menyadarkanku akan sebuah hutang. Hutang yang sebenarnya engkau janjikan. Sebuah tulisan, sebuah kata tentang kita (tentu saja dengan Arfa kita) saat melewati angka 30 November.

Aku bukan orang romantis dalam kata-kata. Tapi aku coba wanitaku. Setahun lebih setelah janji yang harus kuulangi itu. Mungkin Apih ingin aku mencintaimu tanpa interupsi napas. Tahukah kamu aku tidak bisa tidur di malam jelang pernikahan? Apakah aku grogi, tegang, was-was? entahlah. Saking campur aduknya aku seperti tak merasakan apa-apa. (Janganlah dulu kau drama dengan menyela, 

"Jadi aa ga ada perasaan apa-apa sama aku!!") Tepatnya aku tak tahu jenis perasaan apa yang hinggap malam itu. Apakah aku yang malas menyetrika ini bisa membimbingmu? entahlah. Mungkin pertanyaan itu akan terus menggantung hingga kita tua nanti.

Bersamamu aku merasakan benar arti kata sakinah. Aku sedang tidak membuat sayang. Saat engkau di Cilegon sana, aku kerap tidak bisa tidur. Saat kamu berkeringat dan sibuk mengurus Arfa, aku justru bisa dengan lelap berangkat ke alam mimpi. Aku tenang wanitaku. Aku sangat nyaman kamu ada disampingku. Sakinah kata Salim adalah ketenangan nonfisik. Aku merasakan betul kehadiranmu. 

Aku lebih nyaman berlama-lama di kantor sampai batas lelah kemudian baru beranjak pulang saat kau tak ada wanitaku. Jangan kau interupsi dengan "Emang dasar aa aja suka molor." Itu benar, tapi tidur adalah masalah kualitas. Suatu kali aku ingat sekali kau bilang, "Kok Aa kalau tidur cepet banget si. Berapa menit udah lelap." Kuncinya sakinah sayang. Aku benar-benar merasakan itu bersamamu.

Alhamdulillah ala kulli hal sampai detik ini tidak ada pertengkaran serius. Setidaknya menurutku. Kamu tahu kan aku tak terlalu peka. Aku tak akan membawa laki-laki lain sebagai pembenaran. Tapi setidaknya aku tidak memintamu turun dari motor di Pasar Rebo bukan? Aku bersyukur kamu begitu sabar menghadapi lelaki ini.

Suatu ketika kawanku pernah berkata, "Beruntung yang nanti jadi istrinya Hafidz. Bisa ketawa terus setiap hari." Aku tidak menjanjikan tidak akan membuat mukamu mendung. Tapi aku berusaha keras sayang. Aku bahagia saat orang-orang tertawa mendengar celotehanku. Membuat lelucon dan ditertawakan adakah sebuah kebanggaan buatku. Tapi aku sadar wanitaku, kawanku sedikit salah. 

Justru dengan orang terdekat seperti kamu aku tidak bisa melepas semua canda. Sesekali membuatmu tertawa, aku bahagia. Tapi aku justru sering berbagi masalah bukan? Semoga engkau memaklumi yang satu ini.

Wanitaku, aku pohonkan maaf aku belum menjadi imam yang baik. Aku jauh dari apa yang aku tulis setiap pekan itu. Maafkan aku. Untuk yang satu ini tidak ada pembelaan. Cukup tiga baris saja. Maafkan aku.

Lingga Permesti, jika Allah menjadi saksi saat ucapan janji 30 November itu maka hari ini aku yakin Allah juga sedang menyaksikan ini. Aku mencintaimu setidaknya berusaha untuk terus mencintaimu. Selamat milad pernikahan sayang, Wanitaku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surat Cinta untuk Istriku: Wanitaku"

Post a Comment

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)