Dunia Lingga

Gandeng Tangan Membumikan Wayang dari Tanah Sidowarno

Semerbak aroma khas kulit kerbau menyapa hidung ketika memasuki pelataran rumah Pak Hasan di Kampung Butuh, Desa Sidowarno, Kabupaten Klaten.  Pagi itu cuaca cukup terik. Namun, warga sudah melakukan beragam aktivitas. 

Pak Hasan, perajin kulit kerbau menjelaskan tahapan pertama pembuatan wayang kulit
(Dok. Pribadi)

Di rumah Pak Hasan, beberapa perajin terlihat sedang mengerok kulit kerbau. Pak Hasan menjadi salah satu perajin yang memasok bahan baku wayang kulit.  Desa  Sidowarno yang berada di ujung timur Klaten ini dikenal karena melestarikan warisan luhur wayang kulit.  

Dahulunya, Hasan berprofesi sebagai penatah (pemahat wayang). Seiring bertambahnya usia dan memburuknya penglihatan, ia akhirnya menjadi perajin bahan baku wayang.

 Penjemuran atau "mentang kulit" agar tidak melengkung.
(Dok Desa Wisata Wayang Sidowarno)

Sebagai bahan baku, kulit kerbau dipercaya dapat menghasilkan wayang kulit yang kuat dan tidak mudah melengkung. Kulit kerbau ia beli dari pabrik kerupuk kulit atau rambak di Banyudono, Boyolali. 

"Aslinya kulit kerbau ini dari NTB, Mbak. Terus satu truk kulit kerbau biasanya diturunkan di pabrik Boyolali itu,"tutur Pak Hasan yang saat itu memakai lurik hitam putih.

Pak Hasan memilih kulit kerbau yang tipis. Berat perlembar kulit kerbau harus kurang dari 11 kilogram. Jika terlalu berat, proses pengerokan akan memakan waktu cukup lama. 

Bahan baku yang sudah tersedia akan direndam sehari semalam. Pada pagi harinya, kulit kerbau yang sudah direndam akan dibentangkan memakai bambu dan diikat tali agar rata, kemudian dijemur. Setelah dijemur setengah hari, kulit kerbau siap dikerok. 

Jaiman, perajin Kampung Butuh, sedang mengerok kulit kerbau. (Dok Pribadi)

Saat ditemui, Jaiman (45 tahun) sedang mengerok kulit kerbau yang terbentang. Kulit yang tadinya berwarna hitam perlahan memutih setelah dikerok. Untuk satu lembar ukuran lebih dari satu meter ini, ia bisa menyelesaikannya kurang lebih dua hari. Lembaran kulit kerbau yang sudah kering akan dipotong sesuai ukuran wayang yang akan dibuat. Kemudian, kulit kembali direndam kurang lebih setengah hari. 

"Habis itu, kulit-kulit ini dipaku di atas papan kayu kurang lebih 4 hari sambil dikeringkan,"ujarnya sambil mengerok memakai alat manual.

Proses ini dinamakan kentheng. Tujuannya supaya kulit tidak melengkung dan rata sempurna. Ibarat pohon kelapa yang bisa dimanfaatkan dari akar hingga daun, begitu pula kulit kerbau ini. 

Proses kentheng yang bertujuan supaya kulit tidak melengkung dan rata sempurna.
(Dok. Desa Wisata Wayang)

Limbah hasil pengerokan kulit kerbau tidak dibuang. Limbah yang berwarna hitam dijadikan pupuk, sementara yang berwarna putih dijadikan panganan. 

Limbah yang berwarna putih dikumpulkan kemudian diguyur air panas. Setelah itu, dijemur hingga kering. Satu plastik dijual sebesar Rp 2.000.-

"Ini dioseng pakai brambang (bawang) dan lombok ijo (cabai hijau) enak loh Mbak,"ujar Pak Hasan. 

Limbah pengerokan kulit yang bisa diolah menjadi pupuk atau bahan masakan. (Dok. Pribadi)

Setelah melihat proses pengerokan kulit, saya diajak Pak Suraji, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sidowarno untuk melihat proses natah nyungging (memahat dan mewarnai). Sebelum masuk ke proses tersebut, pengrajin membuat pola di atas kulit yang sudah kering. 

Proses ini disebut proses nyoret. Perajin akan menggambar sketsa dengan mencontoh gambar wayang yang diinginkan. Ada juga perajin yang tanpa mencontek bisa menggambar para tokoh wayang. 

Kulit wayang yang sudah dipola (ketiga paling kanan) siap untuk ditatah. (DOk. Pribadi)

Perlahan namun pasti, bentuk wayang sesuai dengan yang diharapkan. Proses ini mesti dilakukan teramat hati-hati. Salah-salah bak peribahasa padi ditanam, tumbuh ilalang. Alias hasil yang tidak sesuai harapan. 

Narto (45 tahun) berkonsentrasi menatah (memahat) kulit wayang. (Dok. Pribadi)

Kedua tangan Narto (45 tahun) sibuk menatah wayang kulit di atas alas berbahan kayu sawo. Ia menyebut alas itu pandukan. Sebenarnya pandukan tidak harus berbahan kayu sawo. Namun, kayu sawo dipercaya perajin memiliki kualitas yang bagus dan awet meski harganya lebih mahal.

Tangan kanan Narto sibuk memegang ganden, semacam palu dari kayu. Sementara tangan kirinya memegang paku pahat dari besi pipih. Konsentrasinya memuncak hingga tak sadar kacamatanya melorot hingga ujung hidung. Sesekali ia mengganti ukuran paku pahat, menyesuaikan besar kecil pola.

Menatah dimulai dari pola paling pinggir, kemudian masuk ke tengah-tengah. Perlu ketelitian ekstra untuk melakukan proses ini. Ala bisa karena biasa. Pak Narto sudah 30 tahun menjadi penatah. Tepatnya di usia 15 tahun ia sudah mulai menatah. 

Proses menatah menggunakan alas kayu sawo yang disebut pandukan. (Dok. Pribadi)

Pandangannya terlihat menerawang seraya melepas sebentar kacamatanya, Ia sedikit bercerita masa mudanya dahulu. Pemuda zaman dahulu jarang sekali yang bersekolah., termasuk dirinya. Beranjak remaja, ia sudah ikut orang tua untuk menatah wayang.  

Proses menatah bisa selesai 3 hari sampai seminggu. Tergantung ukuran wayang tersebut. 

"Kalau ukuran kutren (kecil) itu sehari jadi. Kalau yang besar bisa satu minggu lebih,"lanjut Narto yang saat itu terlihat rapi dengan iket di kepalanya.

Narto juga mengingat-ngingat dalang nasional yang pernah memesan di Desa Butuh. Mulai dari Ki Anom Suroto hingga Ki Tantut Sutanto. 

Perajin bernama Ari sedang melakukan proses nyungging (mewarnai) wayang kulitt. (Dok. Pribadi)

Setelah menatah, bergeser ke proses nyungging (pewarnaan). Saya mendatangi Pak Ari yang sedang konsentrasi mewarnai. Proses ini adalah proses akhir pembuatan wayang kulit. 

Proses nyungging berperan penting membuat wayang lebih hidup. Proses ini memakan waktu paling lama. Jika wayang ukuran besar, tentu akan menghabiskan waktu berminggu-minggu. 

Di mejanya terdapat berbagai macam ukuran kuas. Proses pertama yang dilakukan, warna putih atau kuning sebagai warna dasar dipulas ke seluruh bagian wayang. Kemudian nyungging dengan berbagai warna muda hingga tua. Setiap gradasi atau tingkatan warna nampak jelas batasnya.  

Warna putih dan kuning sebagai dasar nyungging wayang (Dok. Pribadi)

Saat itu, Ari tampak melakukan proses yang disebutnya nyawi, yakni memberikan warna hiasan pada guratan warna hitam. Ia juga kemudian melakukan proses ndrenjemi. Proses ini memberikan warna titik-titik pada bidang sungging. Proses pewarnaan ini sangat banyak istilahnya. 

Tahapan-tahapan nyungging memang sangat panjang. Sehingga tidak mengherankan jika wayang berkualitas dari Sidowarno sudah terkenal ke seantero negeri. 

Jika proses nyungging selesai, kemudian akan dipasangkan pegangan wayang dari tanduk kerbau yang disebut gapit. 

Ketua Pokdarwis, Suraji, sedang memegang gapit di tangan kanan dan di tangan kiri memegang tokoh wayang betorokolo yang belum diwarnai (Dok. Pribadi)

Pak Suraji berujar, wayang berkualitas biasanya berasal dari tanduk kerbau bule yang hasil akhirnya akan berwarna gading. Sementara tanduk kerbau biasa berwarna hitam. Ada juga yang memakai rotan sebagai pegangan. Biasanya dijual bebas dipasaran. 

"Tergantung apakah untuk koleksi, untuk pemakaian dalang, atau sekadar latihan-latihan anak-anak. Ada grade-nya,"ujarnya.

Proses membuat gapit tidak terlalu lama. Tanduk kerbau dipanaskan di atas api. Kemudian, akan dibuat lengkungan-lengkungan menyesuaikan gambar wayang. Perajin Kampung Butuh tidak banyak yang membuat gapitGapit diperoleh dari perajin di daerah Koripan, Delanggu, Klaten. 

Gunungan wayang hasil karya para perajin Desa Sidowarno (Dok. Desa Wisata Wayang Sidowarno)

Wayang kulit untuk profesi memang harganya cukup menjanjikan. Harga fantastis biasanya ukuran besar seperti gunungan atau wayang tokoh betara kala (betorokolo). 

"Betorokolo biasanya hanya dalang-dalang yang punya, mbak. Kalau untuk latihan atau main-main biasanya yang kecil. Seperti karakter wayang Buto Patih,"ujar Suraji yang saat itu mendampingi. Ia juga menjelaskan tokoh-tokoh wayang yang masih asing di telinga saya. 

Para dalang juga akan mengetahui apakah wayang kulit yang dipesannya itu berkualitas atau tidak. Suraji mengatakan, para dalang biasanya meminta wayang dibongkar lagi jika tidak enak dipakai. Satu gapit asli tanduk kerbau bisa berharga lebih dari satu juta Rupiah. Jika gapit sudah terpasang, wayang kulit siap dipasarkan. 

Dalang kenamaan biasanya memiliki satu set wayang dengan kurang lebih 170 lakon wayang. Harganya mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta Rupiah. Bahkan, ada wayang yang diberi taburan emas murni yang harganya bisa mencapai miliaran Rupiah.

Gandeng Tangan Saat Pandemi Hingga Kini

Pandemi menjadi pukulah besar bagi para perajin Kampung Butuh. Praktis, pesanan wayang kembali ke titik nol. Kegiatan natah nyungging serentak sunyi. Jarang terdengar suara pukulan ganden beradu dengan paku pahat.  

Tidak ada pemasukan untuk sekadar makan. Jika pada krisis moneter dalang masih bisa nanggap (tampil) di keramaian, pandemi tidak. Ibarat kata, hidup sudah di titik nadir. 

Perajin wayang kulit mendapatkan bantuan sembako kala pandemi. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Kondisi ini tentu sangat tidak diharapkan. Namun ajaibnya, warga Butuh terus bertahan untuk menang melawan ujian. Gandeng tangan pun dilakukan warga kampung. Pemerintah pun memberi bantuan wirausaha. Sementara pihak swasta seperti Astra, juga berperan memberi rangkulan.

Sunardi Baron, Ketua Pilar Wirausaha Kampung Berseri Astra (KBA) Sidowarno mengingat-ingat pengalaman menyesakkan kala pandemi.

"Saat itu semua vakum. Kita seperti tidur panjang,"ujar pria kelahiran 7 Oktober 1974 yang juga perajin wayang kulit ini ketika saya hubungi melalui Whatsapp.

Local Champion sekaligus Ketua Pilar Wirausaha KBA Sunardi Baron sedang diwawancarai blogger dan wartawan. (Dok. Pribadi)

Namun, tak ada waktu berpangku tangan. Prinsipnya, satu warga makan, semua makan. Siapa yang mendapat pesanan agak banyak, bisa dibagi-bagi supaya semua bisa makan. Prinsipnya, 'perut' warga aman selama pandemi. 

"Selama pandemi, persaudaraan warga justru semakin erat. Dapat sedikit, bagi sedikit,"lanjutnya.

Sebagian perajin mencari mata pencaharian lain misalnya menjahit atau bahkan menguras isi tabungan. Ia dan perajin lainnya bahkan sempat kucing-kucingan mencuri waktu agar tetap bisa menjual wayang. 

"Kita rapat, kucing-kucingan saat itu. Semua strategi dibahas. Teman-teman sudah jual apa, hasilnya berapa. Sehingga kita bisa buat dan jual bersama-sama,"ujar pria yang kerap dipanggil Baron ini. 

Warga Butuh saling bantu dan bergerak bersama saat pandemi. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Permintaan wayang kulit memang masih ada, namun harga jual sangat merosot. Baron mengingat-ingat masa perih itu, balik modal saja sudah bersyukur, ungkap dia. 

Seiring berjalan waktu, situasi pandemi mulai membaik. Baron dan perajin lainnya tertatih-tatih untuk membuat wayang kulit dan memasarkannya meski dengan jumlah terbatas. 

Aktivitas pembuatan wayang kembali bergeliat. Pukulan palu ganden semakin sering terdengar. Perekenomian pun kembali menggeliat. Sebagai Ketua Pilar Wirausaha KBA, Baron dan pegiat terus bergerak meningkatkan perekonomian warga Butuh agar pulih dari hantaman pandemi. 

 "Tabrak sik pikir keri (aksi dahulu, pikir belakangan)," ujar pria yang kerap disapa Baron Edan karena dianggap berani bertindak.  

Saat saya tanya mengapa 'ngotot' mengembangkan wayang kulit, ia menjawab hanya ingin dikenang kebaikannya untuk anak cucu-nya nanti. Wayang kulit baginya dan warga Kampung Butuh, Desa Sidowarno adalah darah dan jiwa yang mengakar kuat. Sejak 1960 diwariskan oleh Mbah Hadi Kasimo, wayang menjadi simbol peradaban antar generasi. Kampungnya adalah kampung para perajin wayang.

Perjuangannya para perajin agar wayang kulit tetap eksis diawali dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE BIMA) yang diketuai Mamik Raharjo pada 2009. Di awal hanya 11 orang perajin. Pasang surut anggota terjadi, bahkan menurun hingga 5 orang. 

Namun, sejak 2017 perlahan meningkat. Hingga kini terdapat kurang lebih 80 orang perajin. Perjuangan memang tidak mudah namun juga menantang untuk dilakukan. 

Pada Agustus 2018, disahkannya Dukuh Butuh menjadi Kampung Berseri Astra menjadi penyemangat agar wayang kulit semakin lestari. Setahun sebelum disahkan, banyak warga yang bertanya-tanya tentang KBA dan apa manfaatnya untuk mereka. 

"Kesulitan pasti ada, karena ada sebagian warga yang belum paham,"ungkap Baron sebagai warga asli Kampung Butuh ini. 

Elok kata dalam mufakat, buruk kata di luar mufakat. Untuk itu, setiap kegiatan apapun, merangkul semua orang adalah kewajiban. Bersama-sama perangkat RT, RW, tokoh-tokoh masyarakat bergandeng tangan menyampaikan tawaran Astra soal KBA. 

Rapat dan sosialisasi kerap dilakukan. Karena dirasa banyak manfaaatnya untuk kampung, warga pun akhirnya mau bersama-sama berjuang. Merawat asa agar Kampung Butuh, Desa Sidowarno bisa semakin maju dengan kearifan lokalnya. 

Desa Sidowarno pun bangkit dari pandemi berkat dorongan berbagai pihak seperti Astra Internasional, Astra Solo, Tim Semut Nusantara, pemerintah daerah, AMIKOM Jogjakarta dan Gerakan Muda Wayang (Genmawa). 

Pun berkat keuletan dan kegigihan para perajin, wayang kulit asal Kampung Butuh Desa Sidowarno semakin harum namanya di masyarakat luas. Prestasi pun semakin banyak diperoleh. 

Joglo Omah Wayang sebagai pusat informasi dan edukasi Dukuh Sidowarno.

Pada 2021, Desa Sidowarno menjadi juara 1 kompetisi landmark KBA Super Prioritas, Juara 1 Kompetisi KBA Innovation, Juara 2 Kampungku Kebanggaanku dan Juara 4 Virtual Tour Semut Nusantara. Berkat prestasinya itu, dibangunlah Joglo Omah Wayang, sebagai pusat informasi dan edukasi Desa Wisata Wayang Sidowarno. 

Tidak hanya prestasi, perekonomian pun perlahan berangsur membaik. Kini, satu perajin rata-rata memproduksi belasan wayang per bulan. Pendapatan kotor rata-rata Rp 5 jutaan. Pasarnya bukan hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri. 

Perajin juga tak hanya membuat wayang tapi juga bisa meningkatkan penghasilan mereka karena kerap diminta sebagai pelatih, pembicara, bahkan pemandu wisata Desa Sidowarno. 


Gandeng Tangan Membumikan Wayang Kulit

Perjuangan Baron dan kawan-kawannya tentu belumlah usai. Saat ini, mereka berjuang mengembangkan program-program Kampung Berseri Astra di desanya agar ada sustainability atau keberlanjutan. 

Kampung Berseri Astra adalah program kontribusi sosial berkelanjutan dari PT. Astra Internasional Tbk dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program. Keempat pilar itu yakni pendidikan, kewirausahaan, kesehatan, dan lingkungan

Murid-murid SDIT Baitussalam 2 Cangkringan Yogyakarta sedang nyungging wayang. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Program pilar pendidikan adalah pekerjaan rumah yang cukup jadi perhatian. Tujuan utama tentu lahir regenerasi baru pecinta wayang kulit. Untuk itu, ia dan pegiat KBA mengedukasi siswa-siswa SD dengan memberikan muatan lokal wayang di sekolah-sekolah. 

"Misalnya kami minta mereka untuk menggambar wayang berdasarkan imajinasi mereka sendiri,"ujarnya. 

Edukasi dari pegiat KBA masuk ke SD-SD sekitar Kampung Butuh layaknya ekstrakulikuler. Anak-anak SD dan SMP dikenalkan dengan cara membuat wayang kulit.  Murid SD dari luar Sidowarno pun bisa mengikuti workshop membuat wayang.

"Alhamdulillah, Alvito Dianoval, salah satu murid SD binaan kami menjadi juara satu mewarnai se-Solo Raya,"ungkapnya bangga.

Alvito Dianoval sedang nyungging Wayang (Dok.Desa Wisata Wayang Sidowarno)

Tidak hanya edukasi kepada generasi muda menyoal wayang. Pegiat KBA juga rutin mengajarkan tari-tarian tradisional kepada anak-anak setiap hari Kamis. Sempat juga diberikan beasiswa pendidikan bagi 35 siswa di Kampung Butuh.

"Besaran beasiswa berbeda-beda tergantung jenjang sekolah,"ungkap ayah dua anak ini. 

Meski demikian, tantangan belum selesai terutama untuk mengedukasi generasi muda usia remaja dan pasca remaja. Generasi muda saat ini, ujar dia, lebih suka mencari tantangan di luar desa. Meski sudah diajarkan untuk menatah wayang kulit, beberapa diantaranya mengaku cepat merasa bosan. 

"Generasi muda biasanya mencari pengalaman dahulu, bekerja di luar kampung. Namun ketika sudah menikah, kembali ke kampung untuk membuat wayang,"lanjutnya. 

Baron kilas balik dirinya tahun 1994 yang sempat bekerja di luar Klaten. Namun setelah memiliki anak dan istri, ia kembali ke kampung halaman menjadi perajin. Meski dirasa cukup sulit untuk meningkatkan minat generasi muda, segala upaya yang dilakukannya ia harap berbuah nantinya. 

Gerakan muda wayang (Genmawa) yang mensosialisasikan wayang Sidowarno. (Dok. Berlian Rahma Dhini)

Tidak semua pemuda abai akan warisan budaya. Ada Gerakan Muda Wayang (Genmawa), gerakan anak-anak muda yang mencintai wayang. Gerakan ini mewarnai Desa Sidowarno agar semakin dikenal di dunia melalui digital. 

Perajin yang tidak mengerti dunia digital didukung anak-anak muda untuk lebih memperkenalkan wayang kulit melalui Youtube, Zoom Meeting, Instagram dan lain-lain. 

"Kebanyakan perajin hanya lulusan SD, puji syukur dibantu generasi muda ini,"lanjutnya. 

Salah satu kaum muda itu adalah Berliana Rahma Dhini (20 tahun). Wanita berjilbab ini pada awalnya sekadar membantu kegiatan memfoto wayang. Namun, ia merasa antusias karena mendapat banyak pengalaman, khususnya dalam mengikuti berbagai kompetisi nasional. 

"Genmawa memberikan kesempatan untuk mengembangkan minat serta keterampilan dalam bidang seni tradisional ini. Ayah saya juga sebagai perajin wayang kulit. Sehingga, saya juga senang kesenian ini,"ujar Berlian saat saya hubungi via Whatsapp.

Kesulitan terkadang menghampiri karena adanya gap antara perajin dan pegiat KBA dengan kaum muda. 

"Kami yang muda memiliki pola pikir yang berbeda dengan para pegiat KBA yang notabene-nya semua bapak-bapak. Jadi terkadang agak tidak nyambung kalau komunikasi,” ujar dia.  

Kesulitan ini tentu hanya riak-riak kecil yang mesti dilalui. Buktinya, ada pelangi setelah hujan. "Sewaktu Desa Sidowarno masuk 75 besar Desa Terbaik versi ADWI, saya nggak menyangka Menparekraf Sandiaga Uno bisa mengunjungi desa kami,"ujar Berlian merasa terharu.  

Menparekraf Sandiaga S.Uno memegang wayang kulit saat berkunjung ke Desa Wisata Wayang Sidowarno. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Ia juga merasa sangat bangga ketika acara penghargaan dapat ikut menyaksikannya.  "Meskipun yang diundang cuma dua orang, tapi kami rombongan berduyun duyun ikut menyaksikan awarding-nya."

Adapun pada program pilar kewirausahaan, para perajin wayang kulit dibekali pelatihan-pelatihan yang meningkatkan pangsa pasar wayang kulit. Misalnya pelatihan managemen keuangan agar tertata rapi, pelatihan pemasaran digital dan juga edukasi agar terciptanya inovasi. 

Lewat KBA, perajin mengenal pemasaran digital mulai dari membuat barcode, membuat titik lokasi usaha di google map dan berjualan daring. Inovasi-inovasi pun terus dilakukan dengan membuat diferensiasi dan diversifikasi produk wayang. 

Akhirnya, banyak produk inovasi berbahan dan berkarakter wayang dijual menjadi gantungan kunci, pembatas buku, juga aksesoris mobil. Upaya ini dilakukan agar wayang terus hadir di masyarakat serta menjadi penghasilan tambahan bagi perajin wayang.

Inovasii produk wayang menjadi gantungan kunci dan pembatas buku. (Dok. Pribadi)

Kewirausahaan di bidang lain pun terus digenjot. Kita berjalan sebentar menuju rumah perajin kaligrafi dari bahan kulit kambing. Nama perajin itu Rosyid. Ia baru sekitar 2 tahun melakoni usaha kaligrafi kulit kambing. Awalnya, ia adalah penatah wayang. 

Membuat kaligrafi dari kulit kambing menurutnya gampang-gampang susah. Kaligrafi kerap dibuat dengan dicap. Namun, banyak juga permintaan tulis tangan. Per lembar kaligrafi bisa dihargai Rp 50 ribu. Pelanggannya berada di Jakarta dan biasa dipasarkan ke Pakistan.

Rosyid sedang menunjukkan kulit kambing yang dipentang. (Dok.Pribadi) 

Di tahap awal, kulit yang ada bulunya direndam dan dihilangkan daging yang masih melekat. Kulit kemudian dijemur mirip seperti proses pembuatan wayang. Setelah kering, dilakukan pewarnaan. Jika pelanggan meminta kaligrafi dilukis langsung di bulu, waktunya bisa lebih lama. 

Namun biasanya, pembuatan kaligrafi langsung pada kulit yang sudah dihilangkan bulunya. Harga kaligrafi kulit kambing ini memang tidak semahal wayang. 

Pak Suraji sedang menunjukkan kerajinan kaligrafi dari kulit kambing (Dok. Pribadi)

Sebab, pembuatan kaligrafi jauh lebih mudah dan tidak serumit wayang kulit. Sejak kampungnya menjadi KBA, ia mengaku mengalami kenaikan jumlah pemesanan. Pelatihan-pelatihan kewirausahaan juga kerap diperolehnya. 

Selain kaligrafi kulit kambing, ibu-ibu di Kampung Butuh pun diberdayakan. Menggerakkan perekonomian dengan usaha di bidang kuliner. Salah satunya adalah hadrirnya Depot Jamu. Berbagai macam jamu mulai dari beras kencur, kunir asem, daun pepaya dan lainnya diberikan untuk wisatawan yang berkunjung. 

Ibu-ibu pegiat KBA menyajikan minuman jamu tradisional kepada wisatawan. (Dok. pribadi)

Saya bergeser sedikit ke rumah produksi payet Mardi Fayet. Sumardi (50 tahun) menjadi langganan keluarga besar Presiden Joko Widodo dalam pembuatan pakaian pengantin. 

Proses memayet baju pengantin yang membutuhkan ketelitian khusus. (Dok. Pribadi)

Ibu Darni (60 tahun) dengan telaten memayet baju pengantin khas Jawa. (Dok. Pribadi)

Baju payet pengantin buatannya dipakai saat pernikahan Gibran dengan Selvi, Kahiyang Ayu dan Bobby. Sejak menjadi pegiat KBA, ia merasa usahanya ini semakin banyak dikenal, bahkan hingga mancanegara. Pesanan pun berdatangan. Jika pesanan banyak, ia memanggil tenaga borongan untuk membantunya. 

"Alhamdulillah, sekarang lebih dikenal di masyarakat,"ungkap Sumardi.

Baron mengungkapkan, salah satu strategi KBA agar meningkatkan pariwisata serta perekonomian masyarakat yakni dengan menyediakan beragam paket wisata jika berkunjung ke Desa Sidowarno. 

Wisatawan dapat memilih paket wisata seperti edukasi penyediaan bahan baku wayang kulit, workshop pembuatan wayang kulit, paket melihat mural tradisional, wisata jemparingan atau panahan, mencicipi jamu tradisional, dan melihat pembuatan kaligrafi kulit kambing. 

Pegiat KBA sedang menjelaskan cara menggunakan jemparingan (panahan) kepada wisatawan. (Dok. Pribadi)

Anak-anak berkeliling mengendarai otran (ojek transportasi) menikmati mural Desa Sidowarno. (Dok. Desa Wisata Wayang).

Baron menyebut, paket wisata Desa Sidowarno ini memudahkan para pegiat KBA untuk memasarkan wisata ke masyarakat. Terbukti, setiap minggunya selalu ada wisatawan datang untuk belajar membuat wayang. 

Banyak murid SD hingga SMP datang untuk mengikuti workshop. Bukan saja anak sekolah, ada Kelompok Sadar Wisata (PokDarWis), juga masyarakat di Indonesia. Paket wisata ini mulai Rp 40 ribu per orang, tergantung kebutuhan. 

"Anak-anak sekolah bisa belajar sekaligus praktik yang menyenangkan,"tuturnya.

Murid sekolah sedang asyik menyungging wayang. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Baron mengungkapkan, semangat pegiat KBA beserta warga patut diapresiasi. Berbagai program  dijalankan dengan guyub dan gotong royong. Pada program pilar kesehatan, misalnya. Baron menyebut, di Desa Sidowarno sudah berjalan kegiatan posyandu berupa sosialisasi dan pemeriksaan kesehatan balita dan lansia. Kegiatan dilakukan oleh dokter dan bidan desa, tentu dibantu oleh kader-kader posyandu. Senam lansia pun rutin dilakukan. 

Pemeriksaan kesehatan bayi dan balita oleh kader posyandu. (Dok. Desa Wisata Wayang)

Penyuluhan gizi, nutrisi dan masakan 4 Bintang (Dok Desa Wisata Wayang)

Selanjutnya adalah pilar program lingkungan. Pegiat KBA mendirikan Bank Sampah yang dinamai Bank Sampah BIMA. Bank Sampah, menurut Baron, menjadi program yang sangat baik dilakukan untuk menampung limbah sampah di masyarakat. Sampah seperti besi, plastik-plastik bekas, kresek semen akan disortir, dipilah, ditimbang dan didaur ulang menjadi barang yang bernilai ekonomi.

Dinas Lingkungan Hidup Klaten dalam menyatakan, volume sampah di Klaten yang dikelola dan diproses ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah hampir 100 ton per hari. Adapun timbunan sampah mencapai 300 ton per hari. Masih ada 44 persen sampah yang belum terkelola. Adanya bank sampah tentu diharapkan sedikit banyak bisa mengurangi volume sampah di Klaten

Pegiat KBA yang tergabung dalam Bank Sampah BIMA  menimbang sampah yang dikumpulkan warga Butuh Sidowarno. (Dok. Desa Wisata Wayang Sidowarno)


Terdapat 6 RT yang mengikuti program bank sampah. Pegiat KBA akan menjemput sampah seminggu sekali ke satu RT. Setiap pekan berkeliling, lanjut Baron, pegiat KBA akan membawa buku tabungan nasabah. Semakin banyak sampah yang dikumpulkan, semakin bertambah pula uang yang ditabung. 

"Tabungannya bukan tabungan uang, Mbak. Tapi tabungan sampah,"ujarnya seraya terkekeh.

Sudah hampir 100 nasabah mengikuti program ini. Pegiat KBA akan bertanya apakah tabungan akan diambil atau ditabung. Sebagian besar warga menabungnya untuk dibuka sebelum lebaran Idul Fitri. Warga merasa sangat senang karena selain menjaga lingkungan, namun juga memperoleh keuntungan ekonomi.

"Tabungan dibagikan dua pekan sebelum lebaran. Lebaran kemarin paling sedikit dapat Rp 30 ribu, paling banyak sampai Rp 500 ribu,"ujar Baron. 

Selain mendapat keuntungan dari menabung sampah, warga juga membuat daur ulang sampah mulai dari pembuatan bunga plastik, ornamen-ornamen hingga ecobricks (bata ramah lingkungan). 

Kerajinan ecobricks bisa dipakai langsung untuk membuat tatakan vas bunga, tempat duduk, dan lainnya. Selain dapat mengurangi sampah plastik, kerajinan ecobricks dapat mengalihkan anak-anak terhadap kecanduan gawai. 

"Pembuatan ecobricks ini biasanya disosialisasikan kepada siswa-siswa SD,"ungkap Baron.

Para pegiat KBA ini terus bersinergi dengan berbagai pihak, salah satunya dengan pemerintah daerah. Baron menyebut, dukungan penuh diterima dari Pemerintah Kabupaten Klaten. Ia mengaku dipermudah mengurus SK Desa Wisata. Dari pengajuan hingga turun SK hanya satu bulan. Pihaknya juga kerap diarahkan untuk mengikuti beragam kompetisi. 

"Iya, Dinas Klaten selalu hadir mendampingi kami,"ungkapnya. 

Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kab. Klaten mengatakan potensi yang dimiliki Desa Sidowarno sangat besar. Ke depan, Desa Sidowarno dapat berkolaborasi dengan desa di sekitarnya menjadi wisata edukasi yang menarik. 

Tenaga Ahli Administrasi Desa Wisata yang juga Staf Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kréatif Disbudporapar, Uun Dyah Trisnawati mengatakan, pemerintah daerah fokus mengembangkan kapasitas SDM di Desa Sidowarno, SK Desa wisata hingga mengembangkan Pokdarwis. 

"Kami fasilitasi untuk pelatihan, lomba-lomba baik tingkat provinsi dan nasional, serta dan ada forum yg menaungi teman-teman desa wisata untuk saling bertukar pangalaman, informasi dan curhat gitu,"ungkapnya melalui Whatsapp.

Uun berharap, Desa Sidowarno, semakin maju, mandiri dan memiliki daya saing dan daya jual yang berkualitas

Gandeng tangan juga dilakukan pihak akademisi. Kelompok Kerja Nyata dari UNS Surakarta membantu wujudkan legalitas Desa Sidowarno sebagai Desa Wisata Budaya. Mahasiswa membantu membuatkan SK Desa, SK Pokdarwis Bengawan Solo Bersinar dan SK Desa Wisata dari Kabupaten Klaten yang bernama Desa Wisata Wayang Sidowarno.

Semangat membangun desa inilah yang membuat Desa Sidowarno semakin memiliki prestasinya. Pada 2022, Desa Sidowaro menjadi Juara Harapan 1 Kompetisi Jateng Gayeng. Lanjut kemudian, juara 2 kompetisi KBA/DSA. 

Di tahun 2023, Desa Sidowarno juga memeroleh gelar juara 4 kompetisi Akademi Wisata Indonesia (ADWI) kategori Souvenir. Serta di tahun yang sama, juara kompetisi KBA/DSA Innovation kategori Kriya Budaya. 

Setelah dianugerahi menjadi Desa Wisata Wayang, Desa Sidowarno kemudian  dilengkapi berbagai fasilitas pendukung seperti areal parkir yang luas, kamar mandi umum, homestay, dan sajian Hidangan Istimewa Kampung (HIK).

Baron berharap, KBA Sidowarno semakin bergerak lebih maju. Selain itu, ia juga  berharap agar seni wayang kulit bisa masuk ke kurikulum di sekolah. 

"Berikan pondasi kepada anak-anak supaya mengetahui budayanya sendiri,"lanjut Baron. 

Pak Suraji memberikan edukasi mengenai tokoh perwayangan. (Dok. Pribadi)

Gandeng tangan semua pihak mulai dari pemerintah, swasta, komunitas, akademisi, kaum muda serta masyarakat harus terus dipupuk dan dikomunikasikan. 

Harapannya, bukan hanya membumikan wayang, ekonomi pedesaaan berbasis potensi dan produk unggulan di Desa Sidowarno pun semakin meningkat. Sehingga pada akhirnya menjadi efek domino untuk desa-desa di sekitarnya.

Bersama, Berkarya dan Berkelanjutan bukan lagi slogan. Namun, menjadi milik Desa Sidowarno. Menjadi milik desa-desa binaan Astra. Menjadi milik Indonesia. 



REFERENSI

https://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2014/01/140126_galeri_protesbuatwayang

https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/investasi-hijau/61bc1d12ca3d2/manfaat-bank-sampah-beserta-mekanismenya

https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/melukis-kulit-kerbau-menjadi-kerajinan-wayang-kulit/

https://soloraya.solopos.com/tiap-hari-ada-300-ton-timbunan-sampah-di-klaten-baru-56-persen-tertangani-1796070

https://tirto.id/apa-itu-ecobrick-sampah-plastik-manfaat-dan-cara-membuatnya-gU5P

https://visitjawatengah.jatengprov.go.id/id/artikel/lebih-dekat-dengan-desa-wisata-wayang-sidowarno-di-klaten

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6875

https://www.youtube.com/watch?v=Xnupx4e6sCQ  (Webinar AKsI Seri 86 " “Penguatan Adat dan Budaya Lokal Untuk Kelestarian Pariwisata Berkelanjutan")


*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Anugerah Pewarta Astra 2024
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #anugerahpewartaastra2024

 #KitaSATUIndonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gandeng Tangan Membumikan Wayang dari Tanah Sidowarno"

Post a Comment

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)