Dunia Lingga

Alat Musik Karinding jadi Media Dakwah?




Belum lama ini saya dapat undangan liputan ke Sukabumi. Yah, hitung-hitung sekalian pulang ke rumah nenek. Sukabumi memang keren sob, coba deh datang dan sesapi apa yang ada disana. Nah, kebenaran (tak ada kebetulan di dunia ini ehehe), saya tertarik membahas alat musik Karinding. 

Karinding jadi salah satu alat musik tradisional Jabar dan Sukabumi juga.  Apalagi nih,  karinding mulai bangkit kembali setelah salah satu grup band Indonesia Noah memadukan musik mereka dengan alat musik yang terbuat dari bambu ini.

Salah satu kelompok yang mempertahankan alat musik karinding adalah Sanggar Seni Padepokan Kurusetra di Jalan Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. Sanggar seni yang termasuk dalam ruang lingkup pondok pesantren Al-Istiqamah Ayis Pangampih ini menjadikan karinding sebagai kegiatan ekstrakulikuler para santri.

Salah satu perintis Kurusetra, Taufik Arrahman bilang sama saya, alat musik karinding tetap dipertahankan puluhan tahun lamanya. Menurutnya, alat musik ini sudah ada 500 tahun lalu. Orang dahulu memakai karinding sebagai alat untuk berkomunikasi, mengusir hama dan penghibur hati atau sebagai media tafakur. Karinding juga disebutnya sebagai media dakwah. Pasalnya, dahulu kawasan tempat berdirinya Kurusetra adalah basis komunis. 

Ia mengatakan, dakwah dari mimbar ke mimbar sudah banyak dilakukan. Dakwah melalui budaya menjadi salah satu cara untuk menjangkau masyarakat untuk lebih mengenal Islam. "Meskipun awalnya digunakan karuhununtuk merajah (doa), kini fungsinya sudah mulai bergeser,"ujar dia.

Karinding menyebar di Banten, Sukabumi dan Ciamis. Karinding juga dijumpai di sejumlah daerah Kabupaten Tasikmalaya.  Beberapa daerah lainnya di luar Jawa Barat juga memunyai alat musik seperti ini namun dengan penamaan yang berbeda.  Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamakan alat ini rinding, sementara karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di luar negeri menamainya dengan zuesharp (harpanya dewa Zues).

"Tidak ada yang orisinal di dunia ini, semuanya saling mempengaruhi begitupula alat musik,"ujar dia.

Karinding tak mempunyai arti secara bahasa, tapi konon katanya merujuk pada kakarindingan, yakni serangga bersuara nyaring yang hidup di sawah. Namun secara makna sering terungkap dalam bahasa Sunda yaitu ngaguar tekad ucap jeweng lampah yang artinya membedah tekad, kata-kata dan perbuatan. 

Menurut dia, karinding merupakan alat musik yang tidak ada tangga nadanya karena memakai resonansi tinggi rendah. Sehingga, tinggi rendah nada ditentukan oleh kemampuan mengolah gema getaran suara di rongga mulut. Suara karinding yang low desibel itu yang menyebabkan alat kesenian ini pada awalnya digunakan untuk mengusir hama. 

Alat musik ini bentuknya sangat sederhana. Terbuat dari pelepah pohon Enau atau kawung dan sebilah bambu, Menurut dia, kepekaan dalam memainkan instrumen ini sangat diperlukan. Untuk membunyikannya, instrumen ini didekatkan ke mulut lalu dipukul salah satu ujungnya dengan jari tangan. 

Karinding biasanya dimainkan oleh satu orang namun dapat pula dimainkan secara berkelompok.  Salah satu diantaranya disebut pengatur nada atau pengatur ritem. Menurutnya, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.

"Cara memainkannya, karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya agar tercipta resonansi suara,"ujar dia.

Karena nadanya yang terbatas, karinding terkadang sulit dikolaborasikan dengan musik lainnya. Oleh karena itu, karinding bukan menjadi pengiring musik, tapi menjadi instrumen utama dalam sebuah lagu. Karinding, kata dia, lebih sering dimainkan untuk musikalisasi puisi dan beberapa pertunjukan teater. 

"Belum lama ini kami mementaskan karinding dengan puisi Chairil Anwar,"ujar dia.

Karinding mulai populer karena alat musik ini dimainkan oleh grup Karinding Attack. Setelah itu, kerap kali digunakan bersama dengan band-band kenamaan di Indonesia. Menurut aktivis kebudayaan Sukabumi, Gola Bargawa, perpaduan karinding menjadikan sebuah akulturasi sehingga alat musik tersebut dapat lebih dikenal.Ia berharap, karinding menjadi entitas budaya Sunda yang diakui publik dan UNESCO menyusul batik, keris, wayang dan angklung.

"Untuk diketahui, dari 195 budaya di Sukabumi, setengahnya hampir punah,"ujar dia,

Adapun Kurusetra merupakan sanggar seni yang sudah berdiri puluhan tahun lamanya. Sanggar yang menyatu dengan pesantren ini bertahan di tengah kehidupan modern. Kurusetra juga tetap mempertahankan kesenian Sunda seperti jaipongan, wayang, pencak silat dan degung. 

"Kami ingin menjadi pesantren budaya, tak hanya menyebarkan nilai-nilai Islam namun, tetap mempertahankan budaya Sunda,"ujar dia.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to " Alat Musik Karinding jadi Media Dakwah?"

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)