Dunia Lingga

Cerpen Korea

Membaca Cerpen Korea, Melihat Miniatur Kehidupan
Apa yang pernah dituturkan E.B. Taylor (1887) mengenai kebudayaan? ”Kebudayaan menurutnya adalah sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Di antara berbagai macam kebudayaan yang ada, baik itu produknya, penciptanya hingga pendukungnya tidak ada yang menjadi superior, inferior atau bahkan termarjinalkan.
Salah satu dari sekian banyak kebudayaan adalah sastra. Sastra menurut Maman S.Mahayana (2005) adalah suatu roh kebudayaan yang lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadi ketegangan atas kebudayaannnya. Sastra seringkali lahir karena adanya perubahan sosial di masyarakat. Maka terjadinya perubahan sosial dari tingkat individu hingga tingkat global tersebut mau tidak mau merepresentasikan pola pikir dan tindakan masyarakatnya yang dapat pula merepresentasikan kebudayaan masyarakat tersebut.
Membaca dan mempelajari sastra suatu bangsa pada dasarnya adalah mempelajari kebudayaan suatu bangsa. Perjalanan kesusastraan Indonesia misalnya, ia berkembang sejalan dengan dinamika perubahan kehidupan sosial kultural yang terjadi di Indonesia sehingga secara langsung ikut mempengaruhi gaya penulisan dan tema-temanya. Di mulai dengan angkatan Balai Pustaka (1920-1933) yang muncul karena adanya masalah budaya antara Indonesia dan Barat sampai kejutan yang ada di abad 21 seperti Ayu Utami, Asma Nadia, Djenar M. Ayu yang tidak lagi mengusung problem domestik rumah tangga, tetapi mengangkat tema yang lebih metropolitan.
Sebagai penikmat sastra, membaca sastra baik buatan domestik maupun mancanegara adalah suatu keasyikan tersendiri. Kita seperti dapat menyelam bahkan terbang melihat seluruh penjuru dunia. Sastra bagi saya adalah representasi kebudayaan bangsa itu sendiri. Ketika membaca buku kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu saya seperti terjebak di dalamnya. Terjebak pada gaya bahasa dan penulisan cerpen Korea yang mengalir dan ditulis tanpa batas. Sungguh berbeda dari cerpen-cerpen karya anak negeri pada umumnya yang biasanya dibatasi untuk memenuhi kolom surat kabar.
Membaca cerpen Korea seperti melihat miniatur kehidupan. Membaca antologi ini saya seperti dibawa masuk ke sebuah rumah yang di dalam terdapat potret kehidupan masyarakat Korea, si negeri ginseng ini. Gaya penulisan yang mengalir dan permasalahan yang diangkat tidak hanya sambil lalu. Begitu pula cara para cerpenis yang mengakhiri cerpennya secara terbuka. Problematika yang diangkat adalah perjalanan perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Mulai dari angkatan sastrawan selepas perang hingga sastrawan kontemporer. Perjalanan kesusastraan tersebut tentunya tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Korea. Seperti yang terjadi di Indonesia, perubahan gaya penulisan karya sastra Korea khususnya cerpen menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tema yang diangkat menjadi semakin beragam yang menyentuh sisi kehidupan manusia.
Seperti dalam cerpen “Dini Hari di Garis Depan” karya bang Hyun Seok merupakan salah satu cerpen luar biasa yang saya sukai. Cerpen ini mengisahkan tentang perlawanan dan aksi kaum buruh demi mendapatkan keadilan di pabrik tersebut hingga ada seorang buruh yang mati akibat perjuangannya. Cerita yang begitu mengharukan karena nyatanya cerita ini tidak berbeda jauh dengan nasib buruh yang ada di Indonesia.
Ada kalimat di dalam cerpen itu yang membuat saya sadar akan betapa kerasnya kehidupan yang dijalani oleh kaum buruh.
Kak Min Young, kamu hanya orang upahan empat ribu delapan won per hari, tidak lebih. Dan, sekarang presiden direktur tidak membutuhkan kamu. Barang yang berharga empat ribu won itu bisa dibeli di tempat lain......Tempat duduk mereka hanya di kursi buruh saja walaupun tujuh puluh dan delapan puluh tahun mengabdi sekalipun. (Dini Hari di Garis Depan, hal 133).
Perjuangan kaum buruh untuk mendapatkan haknya, bukan karena ketamakan akan uang, melainkan uang untuk meneruskan kehidupan yang wajar. Para buruh hanya menginginkan kehidupan seperti orang banyak, kehidupan yang semestinya. Perjuangan tokoh dalam cerpen ini, Cheol Sun, yang tewas hanya untuk menuntuk kenaikan upah yang cuma seratus ribu lima ratus won saja adalah hal yang mungkin juga terjadi di Indonesia.
Perjuangan tidak mengenal kata mati, ia senantiasa ada di hati orang-orang yang ingin mendapatkan hidup selayaknya. Saya seperti masuk ke dalam cerita tersebut, melihat perjuangan para buruh, menantang kapitalisme, menantang hilangnya nyawa. Sungguh, cerpen ini sangat menginspirasi dan menggugah kesadaran saya bahwa jelas nasib buruh sering dimarjinalkan, tak menentu dan selalu “digantung” merupakan potret buruh yang ada di Indonesia pula.
Cerpen “Dini Hari di Garis Depan” yang menyerupai novelet ini hanyalah salah satu potret dari kehidupan para buruh yang “dikebiri” haknya, keserbasalahan, pemecatan dan selalu menjadi kaum marjinal.
Berpisah kita mati. Bergoyang kita hilang. Bersatu kita maju. Sampai hari kemenangan. Kita menepati janji kawan-kawan kita walaupun tengkorak terbelah (Hal 174).
Kalimat itu merupakan lagu buruh yang merasuk ke dalam hati saya pula. Hidup buruh..!
Diam itu Mati
Diam itu mati. Sebuah kalimat yang sangat bermakna bagi saya. Memang benar, perubahan dimulai dari individu masing-masing karena jika diam berarti tidak melakukan berubahan dan itu berarti mati. Perubahan pada intinya adalah menuju ke arah yang lebih baik. Indonesia adalah negara yang ingin berubah, ingin berubah menjadi negara yang beradab dan maju. Perubahan itu sebenarnya tercermin pula pada karya sastra yang dihasilkan.
Semua itu tercermin pada cerpen “Bung Kim di Kampung Kami” karya Lee Mon Goo. Cerpen ini mengisahkan mengenai adanya pengaruh industri pada masyarakat desa yang pada akhirnya berdampak pada pudarnya gemeinschalft atau semangat guyub masyarakat desa. Pada studi pengembangan masyarakat, pudarnya semangat guyub tersebut karena kurang adanya proses swadaya masyarakat disertai kurang adanya usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat.
Pengaruh industri yang begitu cepat tentu saja membawa perubahan baik itu menjadi lebih maju atau menjadi sebuah keterpurukan nilai-nilai yang sudah ada. Pudarnya solidaritas karena permasalahan air terjadi pula di negeri Indonesia tercinta. Akan tetapi jika permasalahan tersebut disikapi secara bijak, tentu saja hasil akhirnya akan menjadi lebih baik. Contoh nyata ada pada cerpen “Bung Kim di Kampung Kami” ini. Permasalahannya adalah seberapa kohesif-nya ikatan antar warga dan pemerintah setempat untuk dapat mengerucutkan masalah dan menyelesaikannya bersama-sama. Karya Lee Mon Go ini menyikapi problematika masyarakat desa di Korea yang terseret arus industri dan langsung mengadopsinya tanpa ada filter terlebih dahulu. Pengaruh globalisasi terkadang menyebabkan nilai-nilai atau kelembagaan yang ada di masyarakat sebegitu cepatnya tergantikan.
Cerpen ini seakan menyentil kita bahwa proses pengembangan masyarakat bukan semata-mata memasukkan teknologi, informasi dan industri sedemikian cepatnya, tetapi bagaimana cara kita melakukan pengembangan masyarakat tidak hanya atas swadaya masyarakat itu sendiri, tetapi didukung oleh usaha pemerintah baik melalui pendekatan bottom-up (community based development) ataupun pendekatan top- down (local goverment policies).
Tidak berbeda jauh dengan cerpen “Bung Kim di Kampung Kami”, cerpen “Jalan ke Shampo” karya Hwang Seok Youn pun mengisahkan adanya perubahan sosial budaya di pedesaan. Nilai-nilai gemmeinschalft (semangat solidaritas dan guyub) mulai memudar dan digantikan oleh adanya nilai gesselschalft (berlandaskan perkotaan dan materi). Tokoh Young Dal yang harus menerima kenyataan bahwa desanya telah terseret arus industri, di mana laut telah menjadi sebuah daratan dan jalan dibangun di atasnya. Hal ini terepresentasi dalam petikan percakapan di bawah.
“Desanya masih ada?”
“Pastilah sudah digusur. Di sana-sini penuh dengan proyek dan pasar pun didirikan”
“Perahu pun sudah tak ada lagi?”
“Sudah ada jalan baru membentang buat apa perahu segala. Para pendatanglah yang bikin masalah. Semakin banyak orang mereka melupakan yang di atas”(Jalan ke Shampo, Hal.71)
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Cerpen ini mengantarkan kita mengenai perubahan sosial yang terjadi di Korea begitu pula yang terjadi di Indonesia. Perubahan nilai-nilai masyarakat yang begitu cepat seharusnya membuat kita berkaca bahwa apakah perubahan tersebut tepat sasaran dan baik untuk semua pihak. Karya sastra dapat menjawab hal tersebut karena menggambarkan realita sosial yang ada di masyarakat.
Bukan Berkaya Kata dalam Kolom Surat Kabar
Cerpen Korea seperti memberi wacana baru dan dapat pula menginspirasi penulisan karya sastra di Indonesia. Sebagai penikmat karya sastra, sastra Korea khususnya cerpen secara konseptual memang berbeda dengan cerpen Indonesia pada umumnya. Benar menurut Maman S. Mahayana (2007) dalam pengantar antologi cerpen Laut dan Kupu-kupu yang menyebutkan bahwa membaca cerpen Korea kita akan menyadari bahwa ukuran untuk menentukan cerpen berdasarkan panjang-pendeknya cerita yang disampaikan, tidaklah berlaku secara ketat. Cerpen Korea ditetapkan secara fleksibel dan mengabaikan ukuran penulisan cerpen. Berbeda dengan penulisan cerpen di Indonesia secara general dibatasi maksimal 11.000 karakter yang tentunya hanya untuk kepentingan surat kabar.
Tentunya kriteria tersebut haruslah dikaji ulang, semacam paradigma di institusi pendidikan di Indonesia mengenai pengertian dan hakikat karya sastra itu sendiri –khususnya cerpen-. Cerpen “Dini Hari di Garis Depan” karya bang Hyun Seok, misalnya, menghabiskan lebih dari 50 halaman yang menurut kriteria penulisan di Indonesia, cerpen ini berbentuk novelet. Tetapi ternyata tetap saja dimasukkan ke dalam kriteria sebuah cerpen menurut konsep sastra Korea.
Di sini dilihat bahwa menulis cerpen bukan sekedar berkaya kata di surat kabar, bukan soal batas-membatasi karakter, tetapi, sebagai kebebasan menuangkan cerita yang mengalir, tokoh yang datang dan pergi begitu saja atau terkadang dengan ending yang terbuka dan “menggantung”. Di sinilah uniknya cerpen Korea. Keunikan yang terjadi dan tidak menimbulkan sebab-akibat di banyak cerpennya.
Bagi saya yang menikmati sastra khususnya cerpen, tentu saja hal ini adalah sesuatu yang baru dan pada mulanya agak janggal. Tetapi, setelah lama-lama dan menyelami kedalamnya, makna penulisan tersebut bisa ditarik dan dikerucutkan menjadi sebuah karya sastra yang sebenar-benarnya bahkan membuat saya penasaran apa makna yang terkandung di dalamnya. Seperti cerpen “Betulkah? Saya Jerapah” karya Park Min Kyu dengan panjang 21 halaman itu menceritakan tokoh seorang pushman yang bertugas membantu penumpang cepat-cepat masuk ke kereta bawah tanah. Memang sangat sulit memahami cerpen modern Korea ini, apalagi cerpen ini merupakan cerpen terjemahan sehingga yang tampak di cerpen ini adalah ide cerita yang bersebrangan dan meloncat kesana kemari.
Masyarakat Korea dengan kebudayaannya dan Indonesia dengan kebudayaannya. Seolah hal itu kini menjadi satu salah satunya dengan adanya antologi cerpen Korea yang dapat dibaca oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan itu tidak lagi memandang batas-batas wilayah, geografi, agama, suku bangsa. Dari buku itu saya tahu walaupun gaya penulisan sastrawan Korea yang mengalir apa adanya berbeda dengan gaya penulisan sastrawan Indonesia pada umumnya, tetapi tema yang diangkat pada intinya adalah sama mengenai manusia dan lingkungannya.
Perburuhan, trauma setelah perang sampai pengaruh industri adalah tema yang sering pula dikucurkan oleh penulis-penulis Indonesia semisal Pramudya Ananta Toer dengan tetralogi Bumi Manusia (1980) yang mengeksplorasi pengalamannya menjadi gerilyawan sehingga menjadi novel sejarah yang sarat makna perjuangan, juga Taufik Ismail yang mengusung kebebasan bersastra tanpa adanya campur tangan politik.
Karya sastra antar dua negara tersebut sejatinya menjadi penghubung atau jembatan yang memungkinkan kedua negara tersebut saling belajar dan saling memahami kebudayaan masing-masing. Dengan saling memahami kebudayaan maka tidak dapat dipungkiri akan terjalinnya sebuah tali persaudaraan dan persahabatan yang kokoh.
Sebuah Titik Hitam di Kertas Putih: Karya Sastra, Miniatur Kehidupan
Teringat sebuah nasehat bijak Korea. Dikisahkan seorang anak yang dekat dengan ayahnya. Dulu, dia pernah terpuruk lalu bangkit kembali dan sang ayah adalah pahlawannya. Sebelum semuanya sempurna, dan ia masih sangat membutuhkan bimbingan ayahnya, pahlawan itu pun meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ia terpukul dan down. Oleh seorang teman diperlihatkan satu titik hitam di atas kertas putih lebar dan temannya bertanya: “Apa ini?”, kemudian ia menjawab, “Titik hitam…”. Sang sahabat berkata, “Mengapa hanya melihat titik hitamnya saja kawanku, tapi kau melupakan sisa putih yang lain di kertas yang lebar ini? Mengapa hanya satu musibah kau terpuruk dan melupakan nikmat Tuhan yang lain?” dan ia diam. Mungkin merenung. Lalu ia akhirnya menyadari bahwa cobaan tidak akan membuatnya menyerah dan kalah. Ia berusaha dan terus berusaha hingga kini akhirnya mencapai keberhasilan.
Begitu pula karya sastra, ia adalah sebuah titik di atas kertas yang mewakilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah kertas putih tersebut. Karya sastra adalah representasi kehidupan, representasi kebudayaan suatu bangsa yang dapat dinikmati oleh seluruh bangsa. Karena karya sastra tidak mengenal batas, ia luas, seluas samudra dan sedalam lautan. Karya sastra merupakan pantulan pemikiran dan tindakan masyarakat tersebut. Dengan karya sastra, kita dapat mengenal lebih jauh mengenai kebudayaan suatu bangsa. Seperti dengan dibuatnya antologi cerpen Laut dan Kupu-kupu ini, walaupun mungkin belum mengungkapkan seluruh kebudayaan yang ada di Korea, tetapi mampu membuat saya seperti berjalan-jalan di Negara Korea, negeri ginseng ini. Membuat saya lebih mengenal masyarakat dan budaya Korea. Eoseo oseyo, Han-Guk!

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Cerpen Korea"

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)