Dunia Lingga

Tumbuh Kembang Arfa di Tahun Ketiga



Sejak awal kehamilan Arfa, sebenarnya saya berharap anak perempuan. Mungkin akan lebih mudah jika mencari pakaian sarimbit jika yang lahir anak perempuan. Bisa saya kuncir rambutnya dan diberi bando. Ini nostalgia sebenarnya karena sejak kecil saya suka banget maen barbie-barbie-an dan bepe, kayak gambar-gambar barbie gitu yang bisa lepas pasang baju sesuai yang kita inginkan, haha..

Pas tahu anaknya punya monas (ini kata dokternya haha), perlahan keinginan itu memudar. Meski gak bisa kuncir rambutnya dia, seenggaknya bisa memadupadankan topi dan bajunya atau dengan sepatu anak cowok yang lucu-lucu juga. Saya tidak akan memaksakan takdir yang sudah Allah gariskan. Pernah dengar nggak ada ibu yang kepengen anaknya cewek terus ternyata lahirnya cowok malah didandanin ala cewek. Itu yang memaksakan ego pribadi dan memberangus fitrah anak. Naudzubillah..

Dan punya anak perempuan konon lebih menantang dalam hal mendidiknya menjaga diri. Well, sama sih kadarnya seperti mendidik anak lelaki karena dua-duanya titipan Allah. Mungkin tantangan mendidik anak laki-laki bagaimana mendidiknya itu mendidiknya menjadi pemimpin namun tetap berempati, itu tantangannya. Kita tahu sendiri, banyak pemimpin justru sudah hilang empati dan simpatinya. Mimpin rumah tangga saja diktator, gimana mimpin sebuah komunitas bahkan negara?? 

Saya jarang sekali sharing cara saya dan suami mendidik Arfa. Mungkin karena belumlah patut di-sharing karena saya masih sering mengadopsi cara mendidik dari kedua orang tua saya. Masih sulit menahan emosi kalau anak tantrum, abai terhadap Arfa, kadang masih ingin punya banyak ruang sendiri, senang-senang sendiri. Padahal Arfa tidak minta dilahirkan. Saya yang meminta dia lahir ke dunia ini. 

Kadang sangat sering rasa menyesal jika tak dapat mendidik Arfa dengan baik. Galau melanda kalau Arfa memukul teman sebayanya hingga benjol, memporakporandakan rumah mertua atau tetangga hingga ketika Arfa tak mau berbagi dengan rekan sebayanya.

Terus saya mikir, saya kok kebanyakan menuntut ya dari Arfa. Ingin Arfa jadi anak soleh, pintar, mudah bergaul dan cakap berbicara. Melihat ibu-ibu lain yang share anaknya sudah pandai membaca di usia dini, membaca huruf hijaiyah dan kepintaran lainnya, kok saya merasa gagal jadi ibu ya. Tapi saya mikir lagi, kan setiap anak dilahirkan berbeda, punya tumbuh kembangnya yang berbeda pula.

Saya jadi ingat saat mengajari adik saya Idham saat usia TK. Dia sama sekali susah diajari matematika, tambah-tambahan saja susah sekali ngajarinnya, apalagi perhitungan matematika lainnya. Tapi seiring waktu, justru Idham semakin berkembang dan lebih suka pelajaran berhitung dibanding menghafal. Sekarang, dia sukses masuk ke jurusan teknik manufaktur Polban yang notabene memang jurusan IPA dan banyak itung-itungannya. 

Kembali lagi ke Arfa, saya jadi bersyukur sekali sekarang atas tumbuh kembangnya. Di usia satu tahun, Arfa sudah bisa berjalan dengan lancar. Kebalikan dengan motoriknya yang pesat perkembangannya, verbal Arfa saat usia satu tahun hanya mengucap satu dua patah kata. Arfa bisa mengucap kata 'gajah' dan'bapa'. 

Di usia dua tahun, Arfa sudah berhasil tak menyusu lagi, yeaay..tanpa ada drama yang bikin deg-degan meski saya yang sempet mellow karena tak lagi mengeloninya saat menyusui. Di usia dua tahun, kecerdasan emosinya mulai tumbuh. Ia juga sudah mulai mengenal warna di sekitarnya meski pelafalannya belum sempurna. Ia sudah mampu menggowes sepeda walau terkadang lebih sering menyeret sepeda dengan kakinya, hehe.

Di usia tiga tahunnya sekarang, Arfa semakin aktif dan sangaat banyak bertanya. Kadang saya dan suami kewalahan menjawab pertanyaannya. Ia bertanya banyak hal yang tidak ia ketahui dan sudah ia ketahui. Entahlah apa yang diinginkan, apakah mengetes bapak ibunya atau bagaimana.

👦"Bu pesawat ini warna apa?"
👩"Putih"
👦"Baju Arfa warnanya apa?"
👩"Merah" (padahal hitam)
👦"Bukan Bubu.itu blee (black) 

Dan terus bertanya hal-hal yang sudah diketahuinya, haha..Dan kini ia pun sangat pintar mendebat kedua orang tuanya. Logikanya sudah sangat jalan sekali. Kecerdasan emosinya pun semakin berkembang. Kalau dia kesal, dia ngambek sambil bilang HUH. Semua yang dikatakan olehnya harus kita perhatikan baik-baik. Orang tuanya harus benar-benar mendengar jika dia sedang bertanya atau pamer akan sesuatu. Arfa dalam fase ingin selalu diperhatikan oleh kedua orang tua dan lingkungan sekitarnya.

Setelah ingin punya adik, Arfa pun semakin tambah dewasa. Waktu saya masih fase mual-mual dan inginnya di kasur terus, Arfa nggak mau mengganggu saya. Semua ingin dilakukan sendiri atau meminta tolong bapaknya. "Sama bapa aja, Bubu sakit," begitu katanya. Ah meleleh saya dibuatnya. Belum lagi, setiap saya minum obat, selalu harus dia yang menyuapi. Dia pula yang membawakan minumannya. Ibumu melting, Naak..hahaa..

👦 Ibu udah minum obat beyum?
👩 Belum Fa
👦Afa ambiin minum ya..*sambil lari cari minum n bukain obatnya

Hal-hal kecil yang dilakukan Arfa itulah yang kadang saya tidak mensyukurinya. Saya kerap masih memarahinya kalau ia tak mau berbagi. Kalau Arfa menjahili teman sebayanya atau kalau Arfa mencari perhatian saat saya bekerja. Apakah teman-teman sering merasakan hal yang sama? Merasakan tak sepenuhnya menjadi ibu yang baik padahal segala cara sudah kita lakukan? Mencoba tetap sabar tapi tak juga bisa sabar? Merasa bersalah setelah memarahinya?

Ah, sesungguhnya kita memang nggak sendiri. Anak itu memang istimewa ya, sangat istimewa. Ini baru satu, mungkin lebih luar biasa lagi buat teman-teman yang punya anak dengan karakter berbeda. Kini, saya tak mau lagi membanding-bandingkan dia dengan anak-anak lainnya. Tak mau memaksakan ia harus pintar baca, pintar matematika atau pintar olah raga.

Saya hanya ingin terus bersama hingga dia dewasa, bahkan hingga menemukan apa yang disukainya, menemukan pula pujaan hatinya nanti. Saya hanya berusaha membersamai Arfa sebisa mungkin meski kadang masih kerap abai. Saya hanya ingin terus berada di sisinya, mencium pipinya meski dia sudah berkeluarga kelak. 

Untuk ibu-ibu di luar sana, mendidik anak memang sangat menantang, menguras batin dan pikiran. Karena ia titipan, maka, menjaga titipan tersebut dengan sebaik-baiknya adalah satu-satunya yang bisa kita upayakan. Menjadikan anak, manusia seutuhnya, manusia-manusia pembelajar.  





Subscribe to receive free email updates:

5 Responses to "Tumbuh Kembang Arfa di Tahun Ketiga"

  1. Ini lagi lucu2nya banyak nanya nya mendetail lagi,. Nikmat saat tumbuh kembang anak y mba,,, jd moment terindah kita

    ReplyDelete
  2. Sama kaya Fahmi, banyak "kekurangan" sejak dalam kandungan sampai lahir dan batita. Tapi Allah Maha Tahu. Tidak ada produk gagal atas kehendak Nya.
    Setiap anak memang special. Di satu sisi mungkin malah dibanding anak lain. Tapi di sisi lain jangan salah akan juga sisi lebih nya, hanya kadang kita selalu melihat anak orang lain, hehehe ini pengalaman saya tanpa melihat potensi anak sendiri yang justru lebih istimewa

    ReplyDelete
  3. Arfa... teringat kamu ngetawain SID yang ngomongnya masih bubbling padahal kalian kan sesama bocah. Hihihi... Melihat perkembangan anak dari hari ke hari itu kok ya kayaknya cepet gitu. Tiba-tiba udah bisa diajak ngobrol dengan jelas dan mulai nanya aneh-aneh. Hahahaha. Enjoy every single moment!

    ReplyDelete
  4. Memang kalau anak cewek lbh cepat bs ngomong ya mbak. Dan mudah sekali diajak komunikasi. Tapi kadang cengeng. Hehe... Sama say juga pengen banget anak laki tapi dapatnya cewek. Yah bersyukur aja deh. Alhamdulillah...

    ReplyDelete

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)