Dunia Lingga

Biarkan Anak Berpartisipasi Dalam Pendidikan

Argumen ini didasari dari Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai Hak-hak Anak, diratifikasi dengan Surat Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, disebutkan bahwa anak-anak, seperti halnya orang dewasa, mempunyai hak atas hak asasi dasar manusia. Namun, karena kebutuhan dan kerapuhan mereka, hak-hak anak perlu diperhatikan dan diperlakuan secara khusus. Konvensi hak-hak anak dirancang untuk menegakkan dan menjaga hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut termasuk: (1) hak-untuk kelangsungan hidup; (2) hak-hak untuk tumbuh kembang; (3) Hak- hak untuk dilindungi; dan (4) Hak-hak untuk berpartisipasi.

Dalam hal ini, salah satu diantaranya adalah hak anak untuk berpertisipasi. Misalnya saja dalam pendidikan. Pendidikan merupakan sesuatu yang harus diterima anak. Apabila tidak diidahkan, tentu saja tindakan tersebut melanggar hukum. Saya sebagai anak Indonesia tentu sangat merasakan bahwa pendidikan pada saat ini merupakan “barang langka.” Apalagi, kali ini Indonesia dihadapkan oleh krisis multidimensi.

Namun, tentu saja hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan mengapa hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan diabaikan. Pendidikan yang nyatanya adalah ”penggosok” mental dan spiritual merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia dan tak lain adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia sendiri.

Dalam konteks ini, ialah pendidikan anak bukanlah hanya untuk kepentingan salah satu pihak. Pendidikan merupakan sesuatu yang harusnya diterima oleh seluruh anak di dunia dan tentu saja khususnya di Indonesia. Sehingga, akan tercapailah suatu inovasi-inovasi baru yang lahir dari pemikiran dan proses kreatifitas anak.

Hal ini tentunya didasari bahwa anak-anak berhak menerima pendidikan yang layak. Namun, bagaimana dapat mengembangkan potensi diri dan mendapatkan pendidikan yang layak apabila hal tersebut hanya dimonopoli oleh salah satu pihak. Bagaimana nasib anak-anak yang berada di bawah garis kemiskinan, jika hal itu terjadi?

Saya rasa, kita akan menemukan jawabannya pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diantaranya menyatakan bahwa anak berpartisipasi langsung secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain anak-anak merupakan potensi pembangunan nasional dan tanggung jawab seluruh pihak, baik keluarga, bangsa dan negara bukan untuk dimonopoli oleh perseorangan. Namun, hal ini sangat sulit untuk direalisasikan apabila sebagian dari kita hanya menjadi ikut prihatin, namun sangat sedikit membantu. Seperti Lelaki Tua dan Laut Ernest Hemingway, begitulah nasib anak-anak Indonesia.

Hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak ini pun tidak hanya menyangkut mampu atau tidaknya seorang anak untuk memperoleh pengajaran, namun sistem yang berlaku dalam pendidikan dapat dikatakan juga sangat mempengaruhi.

Kreatifitas anak tidak akan berjalan dengan baik dan selayaknya karena sistem pendidikan yang masih saja mamatok pada sistem “teko kosong” yang sangat mempengaruhi hak-hak anak untuk berpartisipasi dalam segala hal. Anak-anak dianggap sesuatu yang kosong dan tidak tahu menahu atas apapun, sehingga mudah diisi apapun bak teko kosong yang diisi air. Sehingga apapun yang “dituangkan” ke dalamnya dapat dengan mudah diterima oleh anak tersebut.

Tentu saja hal ini dapat mengganjal proses kreatif anak. Misalnya, anak tidak berani mengajukan pendapat dan argumennya tentang sesuatu hal karena takut pendapatnya tersebut akan bertentangan dengan orang tua maupun guru. Anak dalam hal ini hanya dijadikan sebagai objek semata dan orang tua ataupun guru sebagai subjek, yang pada akhirnya hubungan ini menjadi sangat rentan.

Sekolah misalnya, hanya mengutamakan nilai-nilai avektif semata untuk mengukur daya intelegensi anak. Keadaan seperti ini yang membuat anak tidak dapat menuangkan pendapatnya apalagi dalam bentuk lisan. Saya sebagai anak Indonesia – yang pada dasarnya - memiliki intelegensi yang berbeda, tidak semua anak Indonesia memperoleh hak-hak yang layak dalam bidang pendidikan hanya karena masalah daya intelegensi yang berbeda. Walaupun kini menjamur berbagai bimbingan – bimbingan belajar yang setidak-tidaknya dapat membantu, namun tentu saja hal ini kebanyakan dinikmati orang – orang yang berkecukupan.

Belum lepasnya Indonesia dari krisis multidimensi sangat berdampak kepada sebagian sektor-sektor dalam masyarakat, diantaranya pendidikan. Pendidikan lagi-lagi menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Karena melalui pendidikan, baik mental dan spiritual setidak-tidaknya Indonesia dapat menciptakan teknologi sendiri.

Namun, krisis ekonomi yang menyesakkan dada masyarakat, mau tidak mau hal ini juga berdampak pada pendidikan. Masyarakat kelas menengah ke bawah makin terjepit karena biaya pendidikan yang terlampau mahal.

Tentunya, hal ini akan sangat riskan. Gara-gara biaya yang melambung, mulai dari SPP sampai buku pelajaran yang tidak setiap anak dapat membelinya. Sehingga lebih baik tidak bersekolah karena kebutuhan hidup yang lebih diutamakan yakni kebutuhan untuk “mengganjal perut.”

Sebagian masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan akhirnya tidak mempunyai jalan lain untuk tidak meyekolahkan anaknya. Tentunya ini bukanlah jalan yang terbaik, namun apa boleh buat. Keadaan yang memaksa hingga para orang tua yang tidak sanggup menahan beban pengeluaran yang begitu besar, hanya untuk biaya pendidikan.

Hak anak-anak pun terpaksa atau mungkin dengan sengaja dilanggar hak-haknya karena tadi, kebutuhan hidup. Saya pun sebagai anak Indonesia sangat merasakan hal itu. Baban keluarga yang semakin berat menanggung biaya sekolah hingga asap dapur tidak mengepul lagi.

Lebih parahnya lagi, anak-anak di bawah usia delapan belas tahun terpaksa atau dipaksa membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan hukum yang mengatur tentang perlindungan anak-anak khususnya di Negara Indonesia tercinta ini.

Sebagian anak-anak Indonesia menjadi buruh atau pekerjaan lainnya yang tak sesuai dengan anak seumuran mereka. Hal ini memang sangat memprihatinkan, setelah pendidikan yang layak kini sangat sulit untuk didapat, kini mereka pun harus bekerja memeras keringat agar dapat tetap hidup.

Adanya perburuhan terhadap anak-anak dan pengeksploitasian terhadap mereka tersebut tentu tidaklah sesuai dengan yang kita harapkan. Dapat kita lihat, anak-anak berumur belasan tahun bekerja di jalanan, seperti menjual koran dan masih banyak pekerjaan lain yang tidak sesuai dengan kapasitas kami sebagai anak. Apalagi perburuhan anak yang seharusnya tak memandang negara maju atau bukan masih saja terjadi di Indonesia khususnya. Tentunya hal ini menambah pedih hati kita, apalagi anak-anak yang seharusnya pada seumuran mereka mendapatkan pendidikan dan hak untuk mendapat hiburan tak terlaksana dengan baik.

Dapat kita lihat dari kulit yang hitam terkena sengatan matahari dan wajahnya yang kucal karena tidak terurus dengan baik. Belum lagi anak-anak yang hidup di daerah konflik. Selain dibebani trauma berkepanjangan akibat konflik yang belum tentu akan cepat hilang dari benak mereka atau mungkin terkubur dalam benak mereka. Tetapi juga pendidikan yang tak mereka dapati karena daerah tersebut rawan konflik.

Pendidikan yang tak berjalan dengan baik di daerah yang rawan konflik menjadikan anak-anak tersebut tak semua terlaksana hak-haknya. Pendidikan formal dan informal yang seharusnya diterima anak-anak hanya menjadi ngiangan dalam telinga.

Pendidikan yang tak layak dan adanya pengeksploitasian anak karena dampak perekonomian yang tak jua lepas dari krisis merupakan hal yang sangat membuat hati pilu. Dengan kata lain, nasib anak-anak Indonesia apalagi yang hidup di bawah garis kemiskinan kian lama kian memprihatinkan.

Maka dari itu, dapat saya ulangi sekali lagi dari uraian di atas, nasib anak-anak Indonesia seperti istilah salao dalam Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway, yakni paling sial diantara yang sial. Memang, hal ini tidak semua mencerminkan anak-anak Indonesia. Namun, dalam kenyataan yang sesungguhnya memang demikianlah adanya.

Namun, janganlah kita mencari kambing hitam dalam masalah ini. Yang kami – anak-anak - butuhkan ialah bekal moral dan suhu agar menjadi generasi yang berkeperibadian dan tumbuh sebagai pemberi makna dan warna bagi anak-anak itu sendiri, keluarga dan bangsa yang pada dasarnya yang disebutkan tadi merupakan kebutuhan dasar anak-anak.

Anak bukanlah sesuatu yang hanya “disuapi” oleh sistem dan menjadi korban daerah konflik atau juga korban eksploitasi yang disebabkan adanya krisis multidimensi Indonesia.

Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini haruslah bahu membahu dalam membangun Indonesia yang berpendidikan, baik lahir maupun batin. Yang jelas, hubungan antara semua elemen bangsa ini haruslah dijadikan sebagai relasi yang saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya sehingga dapat membuat hubungan timbal balik yang baik. Tentu, hal ini tidak akan mudah direalisasikan apabila tidak disertai adanya kesungguh-sungguhan semua elemen bangsa dalam membangun pendidikan bangsa ini.

Apabila pada hari ke depan permasalahan mengenai hak-hak anak belum juga disikapi dengan benar oleh setiap elemen bangsa, yaitu masyarakat dan negara, janganlah heran tentang nasib dan wajah bangsa Indonesia ke depan akan semakin terjerat krisis dan semakin terpuruk ke jurang yang lebih dalam lagi.

Demikianlah esai yang saya sampaikan. Tentunya penjelasan ini tidak semua mewakili suara anak-anak bangsa yang belum menerima ataupun juga terampas hak-haknya. Namun, setidaknya saya dapat menerima hak saya, yakni ikut berpartisipasi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biarkan Anak Berpartisipasi Dalam Pendidikan"

Post a Comment

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)