Dunia Lingga

DULU AKU, KINI AKU, DAN ESOK AKU, MEMBACA

Kebudayaan menurut E.B. Taylor (1887) adalah sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan, dan bertindak.



Sementara di sisi lain, sebenarnya disadari atau tidak, isu yang menghampiri kita akhir-akhir ini adalah tidak lain tidak bukan mengenai masalah globalisasi. Globalisasi telah menghadirkan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi. Negara-negara ”selatan” seakan diinvansi oleh arus informasi dan teknologi Barat. Masuknya beragam budaya asing pun tak terhindarkan. Budaya asing tersebut seakan memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya. Sehingga mau tidak mau menimbulkan situasi ketertinggalan budaya yang melanda sebagian besar negara-negara ”selatan” atau biasa kita sebut ”negara ketiga” ini, negara yang sedang berkembang.

Simbol budaya baru seakan-akan menjadi ”dewa” baru. Penempatan budaya tersebut kadang-kadang diberi makna tidak pada tempatnya. Misalnya saja dengan adanya kecanggihan teknologi, bahasa lisan kini digantikan peranannya oleh citra-citra visual. Manusia kini sepertinya lebih menekankan hasil dibandingkan prosesnya. Manusia menjadi begitu mementingkan uang, kenyamanan lahiriah, dan kemakmuran duniawi. Kini, tidak hanya ”gagap teknologi” saja yang kita punya, tetapi ”gagap budaya” menjadi hal yang lumrah terjadi karena sebagian dari mereka tidaklah memaknai apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasinya.

Keadaan yang terjadi tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja, tentu harus diatasi secara arif, diantisipasi dan dihadapi apapun konsekuensi yang akan dihadapi. Menurut buku karya Sayuti (2005), salah satu caranya adalah lewat pemilihan strategi kebudayaan yang tepat. Dalam kaitannya dengan esai ini, pengembangan apresiasi sastra di tengah masyarakat, khususnya pendidikan dan pengajaran sastra di tengah masyarakat, khususnya pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah maupun perguruan tinggi, menjadi komponen yang layak dipertimbangkan dalam rangka pemilihan strategi kebudayaan tersebut.

Sebagai seorang budayawan dan penyair Indonesia terkemuka, Taufik Ismail melalui berbagai kegiatan dan apresiasi, pendidikan dan pengajaran sastra yang baik dapat memberikan kontribusi yang bermakna dalam jaringan kehidupan masyarakat, negara, agama, dan bangsa. Perjuangannya seakan tak kenal lelah, baik melalui karya-karya puisi maupun apresiasi, tentu saja akan lebih panjang lagi jika ditambah dengan posisi dan peran Taufiq Ismail dalam konstelasi sejarah sastra Indonesia.

Saya teringat ketika menghadiri seminar yang diadakan di Auditorium Rektorat IPB dengan tema With Words Change the World 2 Desember 2007, hari itu untuk pertama kalinya saya melihat Taufiq Ismail secara langsung. Bangku-bangku masih kosong, ketika itu masih pukul 07.30 dan acara dimulai pukul 08.00.Namun, saya mendapati pria kelahiran Bukittinggi itu sudah duduk di kursi depan. Dengan tas dan topi khasnya, ia mengamati dan menunggu persiapan acara. Saya berpikir dan saya merasa sangat kalah dibandingkan sang ”maestro sastra” itu. Ketika saya dan teman-teman yang lain baru saja datang, ia sudah dihadapan kami, menunggu.

Saya pun menggarisbawahi apa yang dikatakan Taufiq Ismail, kalau tidak salah ia berkata bahwa bangsa Indonesia butuh perubahan. Jikalau ingin dihargai, sastrawan ingin dilihat dunia, maka kuncinya adalah dengan membaca. Tidak ada kata lain, dengan membaca. Bayangkan, Indonesia adalah negeri yang hanya mewajibkan buku wajib (sastra) di sekolah menengah atas sebanyak nol judul buku. Tragedi nol buku ini berlangsung pada awal 1950. Wajib membaca 25 buku sastra dan bimbingan menulis digunting habis, karena katanya tidak perlu. 

Miris memang saya mendengarnya, Indonesia dengan puluhan ribu sekolah, ternyata tidak ada apa-apanya. Yang membuat saya berkaca lagi adalah, dahulu tepatnya tahun 1945, lulusan sarjana di Indonesia hanya puluhan tetapi mereka adalah orang-orang yang berkualitas yang bisa memerdekakan bangsa ini. Sebut saja Bung Hatta, Soekarno dan masih banyak deretan pahlawan lain yang ternyata mereka adalah seorang book addict, pecinta buku.

Saya kembali bercermin walau terkadang buram, melihat setiap tahunnya sekarang, sekitar LIMA JUTA lulusan sarjana berkompetisi mencari pekerjaan, yang mungkin saja keahlian mereka hanya menghapal dan menghapal, pada akhirnya gugur dalam persaingan di berbagai aspek yang terjadi di Indonesia dan kemungkinan besar estimasi persaingan di luar negeri takkan ada sama sekali. Ya itulah salah satunya karena malas membaca dan malas menuliskannya. Manusia-manusia yang konon katanya menuntut ilmu dan mengamalkannya untuk masyarakat umum atau mungkin beberapa dari mereka atau mungkin keseluruhan dari mereka hanya mengejar status, dikeningnya seperti ada cap besar: LULUSAN S1!

Saya pun mungkin demikian, menatap hidup dengan cap seperti itu, atau lebih parah lagi, mungkin judul cap dikening saya adalah: ”SIAP MENGANGGUR”. Ah, itu mungkin patut saya ungkapkan, karena saya berpikir hanya selembar kertas yang diberi nama ijasah. 

Tetapi kemudian, ketika saya menghadiri seminar tersebut, saya rasa perefleksian kecintaan Taufiq Ismail dalam membaca buku sepertinya dapat merambat kepada orang-orang di sekitarnya. Meskipun saat itu saya hanya bertemu dengannya satu kali dan itu pun saya di antara ratusan teman-teman mahasiswa lain, saya merasa auranya langsung tergambar jelas. Membaca baginya bukan suatu hal yang asing lagi dan mungkin ia sangat bersyukur sekali karena kedua orang tuanya suka membaca. Ayahnya membina kecintaan Taufiq Ismail pada buku dengan sekali dalam sebulan memboncengnya naik sepeda pergi ke toko buku untuh memilih dua judul buku yang akan dibeli. 

Di masa kecil, taufik Ismail tak pernah lepas dari buku bacaan anak-anak. Sampai-sampai ia pernah menjadi penjaga perpustakaan PPI di Pekalongan di masa SMA nya. Tidak tanggung-tanggung, karena kesukaannya membaca, ia mendapatkan beasiswa AFS, 1956-1957, dan tentunya, ia menjadi anggota perpustakaan sekolah di sana.

Membaca merupakan bagian dari budaya dan membaca adalah jendela dunia. Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca seseorang akan memperoleh informasi, memperoleh ilmu dan pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan akan memungkinkan seseorang mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya, dan memperluas wawasannya (Zuchdi dan Budiasih, 1996/1997:49). Pendapat tersebut menekankan tentang pentingnya membaca bagi peningkatan kualitas diri seseorang. Seseorang akan ‘gagap teknologi’ dan ‘gagap informasi’ apabila jarang atau tidak pernah melakukan kegiatan membaca.

Budaya membaca seakan sangat tercermin di kehidupannya hingga di puisi-puisi Taufiq Ismail. Saya kemudian merekam jelas di memori ingatan saya puisi yang Taufiq Ismail bacakan ketika seminar tersebut. Puisi tersebut berjudul ’Kupu-Kupu Dalam Buku’ dalam karyanya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia yang kira-kira isinya seperti ini:

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbang kereta api, di ruang tunggu praktik dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan rak bukudan cahayanya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri manakah gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang ke sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingintahuan putrinya, kemudian katanya, ”tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu”, dan aku bertanya di negeri rumah mana gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan perguruan, kota dab desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

Puisinya saya merasa sangat ”menyentil” saya sebagai kaum muda, sebagai seorang mahasiswa. Puisi ini menyiratkan bahwa membaca haruslah dijadikan suatu kebudayaan. Membaca bukan lagi suatu kewajiban, akan tetapi kebutuhan, layaknya kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum dan sebagainya. Menurutnya pengamatannya, bangsa kita kabarnya rabun membaca dan picang mengarang. 

Puisinya-pusinya pun menggambarkan dengan jelas realitas sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia khususnya. Inilah maksud dari hasil membaca sesungguhnya. Membaca bukan hanya dari teks saja, tetapi Taufiq Ismail mampu membaca fenomena sosial yang terjadi di lingkungan di mana ia berada. Dalam dan melalui puisinya, sepertinya Taufiq Ismail ingin berbicara dan menyampaikan ”sesuatu” kepada khalayak, tentang beragam hal, dari persoalan nyanyian pribadi hingga ”keabadian yang akan datang”. Sementara itu, persoalan yang disampaikan dan dikomunikasikan pun bisa jadi berupa hal yang sekecil ”jarum peniti” ataupun yang besarnya ”sepunggung gunung”.

Secara paradoks pun, puisi ini melukiskan sebuah pemandangan yang dirindukan Taufiq Ismail, khususnya maraknya tradisi baca di kalangan rakyat Indonesia, tidak seperti keadaan sekarang yang menjurus kepada kegiatan nol baca dan nol tulis, tapi lebih didominasi oleh budaya lisan dan visual.

Saya selama ini seolah tertutup mata dan pikirannya bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan. Selama ini saya membaca karena mungkin diwajibkan, baik dari SD hingga perguruan tinggi saat ini. Membaca bukanlah lagi menjadi suatu kegemaran, karena hilang esensinya sebagai suatu budaya. Pada hari itu juga, saya sadar bahwa membaca bukan lagi suatu kewajiban atau rutinitas, ia seperti menjadi oksigen di kehidupan manusia. 

Seperti pada puisinya yang berjudul ’Orang Indonesia Gagap Berbahasa Inggris’ pun, ia melihat adanya ketidakdemokratisan dalam dunia pendidikan, khususnya praktik pembelajaran yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan pendidikan. Saya saat itu merasa seperti dalam puisi Taufiq Ismail, sebagai mahasiswa posisi saya bukan sebagai subjek, tetapi sebagai objek yang terkenai tindakan disuruh dan wajib menghapal tiga kata: inggeh, inggeh dan inggeh. Kesadaran saya sebagai mahasiswa yang konon katanya sebagai agent of change muncul saat itu juga.

Saya dan teman-teman akhirnya mempunyai suatu langkah kecil saja yang dimulai dari sekarang, membaca. Membaca apa saja yang saya sukai dan membaca dengan hati dan pikiran saya. Saya dan teman-teman mahasiswa di sini pun memulainya dari ruang kelas kuliah, kami mengadakan perpustakaan keliling mahasiswa. Buku-buku yang kami miliki kami kumpulkan, kami data hingga dibuat listnya. Lalu perpustakaan keliling ini pun menjadi sebuah wadah bagi kami untuk terus dapat membaca dan menyalurkan aspirasi.

Untuk memulai memang sangat sulit, bahkan terkadang buku-buku itu hilang entah kemana, atau buku tersebut terkadang tidak kembali seperti aslinya, sobek di sana-sini. Tapi saya dan teman-teman terus berupaya agar perpustakaan itu berjalan terus walaupun mungkin perpustakaan keliling itu akan berakhir ketika status mahasiswa sudah tidak melekat lagi pada kami. Bahkan, salah seorang teman saya setelah mengikuti seminar tersebut memimpikan membuka sebuh perpustakaan gratis bagi mahasiswa di sini, khususnya dalam buku-buku yang bertema sastra. Mimpi kami diawali dengan adanya perpustakaan keliling kecil-kecilan tersebut.

Taufiq Ismail menjadi sebuah ikon bagi saya khususnya untuk melestarikan budaya membaca di kalangan mahasiswa. Bukan hanya sekadar disibukkan oleh kegiatan kampus yang semakin menumpuk, saya dan teman-teman mencoba merubah paradigma bahwa kuliah hanya study oriented saja. Kegiatan seperti perpustakaan keliling pun membuat kami yakin untuk membudayakan membaca dan menulis.

Ketika saya membaca puisi Taufiq Ismail dengan judul ‘Takut ’66 takut ‘98’ yang sering saya lihat di mading-mading fakultas. Yang isinya seperti ini:

Mahasiswa takut pada dosen

Dosen takut pada dekan

Dekan takut pada rektor

Rektor takut pada mentri

Menteri takut pada presiden

Presiden takut pada mahasiswa


Saya dan teman-teman mencoba bertahan untuk menumbuhkembangkan perpustakaan keliling tersebut walaupun tidak mendapatkan dana kemahasiswaan dari universitas. 

Sulit diungkapkan semua yang ada pada diri Taufiq Ismail yang secara konsisten sebagai tokoh sastra dan kebudayaan Indonesia. Karya-karyanya menyarankan berbagai kemungkinan yang berhubungan dengan moral, psikologi, dan masalah-masalah sosial budaya. Taufiq Ismail memberikan support tertentu untuk merenungkan hakikat hidup ini. Dengan demikian, beliau membantu pembaca dalam membentuk sikap terhadap kehidupan. Karyanya bukan hanya sekedar formula, rumus-rumus, jurus-jurus, bahkan metode untuk hidup, tetapi karya-karya beliau seperti ’merasuki’ pembacanya agar menjadi lebih baik.

Ada satu pernyataan Andrea Hirata yang pernah saya lihat di televisi swasta, tepatnya kapan saya lupa. Ia berkata bahwa walaupun lingkungan yang ia hadapi marginal, tetapi dalam pendidikan ia tidak ingin ”marginal”. Selaras dengan pengapresiasian sastra, para sastrawan tidak menjadi ”makhluk marginal” yang perlu diawasi, tetapi masyarakat Indonesia seyogyanya dapat memetik nilai-nilai kemanusiaan yang pada gilirannya dapat mempertinggi budi pekerti manusia.

Akan tetapi, pada kenyataannya, tingkat apresiasi sastra para siswa, bahkan mahasiswa sekalipun jauh dari harapan. Kegemaran membaca karya sastra belum tumbuh menjadi sebuah budaya di kalangan siswa, mahasiswa dan masyarakat. Sehingga sampai-sampai bangsa Indonesia memang membaca sastra, tetapi sastra itu tidak mewakili budayanya. Masyarakat bukannya sama sekali tidak mengenal membaca sastra dan mengapresiasikannya, tetapi menurut Taufiq Ismail masyarakat kebanyakan tidak mengalami kenikmatan membaca buku secara utuh, karena antara lain tidak ditugaskan dan tidak disediakan buku sastra tersebut. 

Bahkan seperti yang saya rasakan sewaktu SMA, saya masih saja disuapi dan dicekoki kaidah-kaidah tentang awalan, sisipan, dan akhiran. Menurutnya, pemujaan terhadap tatabahasa dalam pendidikan sangat hiperbola (baca: berlebihan) hingga mau tidak mau dalam jangka panjang bangsa ini menjadi rabun membaca dan menulis.Masyarakat mungkin menilai tidak adanya nilai utility dalam membaca karya sastra. Pertimbangan kekomersialan dan aspek ekonomi menjadi tujuan utama masyarakat akhir-akhir ini.

Dulu Aku, Kini Aku, dan Esok Aku, Membaca

Mengapa saya mengambil judul seperti ini? Karena saya melihat perkembangan budaya membaca sastra pada masyarakat Indonesia walaupun mungkin persentasi kecil, tapi terus-menerus merangkak naik. Karya-karya sastra kini menjadi alternatif baru dibanding dengan buku-buku tekstual yang lain. Bahkan karya-karya tersebut menjadi best seller sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa visual.

Taufiq Ismail sebagai role model berkembangnya kesustraan Indonesia dan menjadi trend setter kebudayaan masyarakat Indonesia dalam membaca buku. Meskipun sekolah dan kesarjanaan Taufiq Ismail dalam bidang kedokteran hewan, ia memiliki aktivitas yang luar biasa dalam bidang kebudayaan pada umumnya berkonsentrasi untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis di masyarakat Indonesia.

Saya kemudian terpikir dan pikiran itu terus saja merasuk dalam hati, kecintaan Taufiq Ismail pada dunia sastra tak pernah surut dari dalam jiwanya. Itu yang membuat saya ingin menjadi seperti beliau, bahkan ingin lebih lagi dari beliau. Program-program hingga yang karya sastranya dilakukan dengan semangat yang berkobar sebagai upaya untuk meningkatkan kepekaan dan kecerdasan generasi bangsa. Salah satunya seperti yang beliau lakukan pada seminar 2 Desember 2007 lalu yang saya hadiri. Beliau membuat saya yakin bahwa bangsa ini membutuhkan perubahan dan agen perubahannya, yaitu saya dan teman-teman lain sebagai generasi muda.

Dulu aku, kini aku, esok aku membaca. Hal itu sudah dilakukan oleh Taufiq Ismail. Membaca baginya adalah jalan keluar memecahkan segala problematika hidup dan menuliskannya. Lantas bagaimana dengan saya yang bukan berasal dari keluarga yang gemar membaca? Sedangkan beliau memperoleh kebiasaan dan kegemaran membaca dari keluarganya, khususnya orang tua beliau. 

Tidak ada kata terlambat dalam belajar dan membiasakan diri untuk membaca. Saya memulainya dari sekarang, membaca semua hal yang saya sukai, membaca semua fenomena sosial yang terjadi kemudian menuliskannya baik itu dalam bentuk puisi, esai, atau karya tulis lainnya. Membaca dan menulis merupakan paspor untuk mencerdaskan generasi bangsa yang kini carut marut.

Khususnya yang dialami oleh Taufiq Ismail, membaca baginya tidak lengkap apabila tidak dicurahkan ke dalam bentuk puisi. Seperti pada puisi yang berjudul ’Dengan puisi, Aku’ yang saya hafal seperti ini misalnya:

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya


Budaya membaca dan menulis yang dibawa oleh Taufiq Ismail semakin menginspirasi saya untuk terus menjadi manusia seutuhnya. Dengan hal-hal kecil yang saya dan teman-teman saya lakukan. Mungkin hal ini tidak seberapa dibanding perjuangan Taufiq Ismail untuk memajukan bangsa dan negara ini. Namun kini, semenjak seminar tersebut saya terilhami bahwa tidak ada kata terlambat untuk membuktikan bahwa bangsa ini bangsa yang berbudaya. Karena dulu aku, kini aku, esok aku membaca akan tetap saya patrikan dalam diri. 

Proses membaca dan menulis dan dibangun oleh bangsa ini, seharusnya didukung oleh semua stakeholder yang ada, juga didukung oleh semua lapisan masyarakat. Pekerjaan Taufiq Ismail akan menjadi sia-sia apabila bagian-bagian dari masyatakat tidak turut andil dalam membangun bangsa ini. Saya sebagai mahasiswa, sebagai generasi penerus yang sedapat mungkin seharusnya meneruskan tongkat estafet yang diberikan Taufiq Ismail. Mendapati bangsa ini di tengah keterpurukan membuat saya menyadari bahwa tidak akan semudah itu memperbaikinya. Saya pun harus berkali-kali menggarisbawahi dalam hati dan pikiran saya bahwa jika bukan penerusnya, siapa lagi yang akan mengubah bangsa ini agar lebih berbudaya. 

Sampai saat ini pun, Taufiq Ismail terus berjuang mengedukasi masyarakat dengan puisi-puisinya, dengan karya-karyanya. Perjuangannya tak kenal kata ’mati’. Perjuangannya seperti effort yang tidak berhenti-hentinya beliau lakukan dan beliau sebarkan di masyarakat ini. 

Sangat sulit memang menuliskan semua peran Taufiq Ismail dalam memajukan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Tetapi esensi yang saya dapat adalah terus berjuang sepertinya, terus berjuang memajukan peradaban bangsa ini yang semakin diinvansi negara ’utara’.

Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi segala hal yang beliau lakukan. Sebagaimana layaknya seorang pejuang, aktivis sosial, seniman, budayawan yang meletakkan sendi-sendi kultural dalam konteks ke-Indonesiaan, semua karya dan aktifitas yang dilakukan oleh beliau layak untuk disebarkan, diberi penghargaan. Setidaknya menghargai karya dan perjuangannya dalam memajukan moralitas bangsa yang semakin terdegradasi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DULU AKU, KINI AKU, DAN ESOK AKU, MEMBACA"

Post a Comment

Terima kasih sudah memberi komentar di dunia lingga, semoga bermanfaat. Tabiik :)